
Hal ini menggelinding sejak Pemerintah menetapkan UU 32/tahun 2002 tentang Penyiaran, disitu diatur antara lain bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Dalam kasus si tukul, yang penghentiannya diberitakan melalui Siaran Pers KPI, Nomor: 23 /KPI/SP/11/08, 4 Nopember 2008, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan untuk menghentikan program Empat Mata yang tayang Senin hingga Jumat Pukul 21.00 di Trans 7. Keputusan ini diambil setelah sebelumnya, program Empat Mata telah menerima teguran sebanyak 3 kali. Teguran sebelumnya dilayangkan pada 5 Mei 2007, 27 September 2007 serta 25 Agustus 2008. Namun berdasarkan pemantauan KPI Pusat pada program Empat Mata yang tayang 29 Oktober 2008 episode Sumanto – Mantan Pemakan Mayat ditemukan adanya pelanggaran. Maka sesuai dengan Undang-undang Penyiaran, KPI memutuskan untuk menghentikan sementara program Empat Mata, mengingat adegan dalam program tersebut sangat tidak pantas dan melanggar SPS yang ditetapkan KPI.
Dalam program Empat Mata pada episode tersebut pada salah satu adegan menampilkan seorang bintang tamu memakan hewan hidup-hidup. Sehingga program ini dinilai telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) :
1. Pasal 28 ayat 3 yang berbunyi : lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan di luar perikemanusiaan atau sadistis.
2. Pasal 28 ayat 4 yang berbunyi : lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pasal 36 yang berbunyi : lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program yang mendorong atau mengajarkan tindakan kekerasan atau penyiksaan terhadap binatang.
Selain itu juga, pada Pasal 36 (5) dan (6) UU Penyiaran dijelaskan bahwa isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Menyimak berbagai ulasan diatas, masalah ini sesungguhnya bukanlah soal pengkebirian terhadap alat kelamin penyiaran, tetapi kita sudah selayaknya berfikir secara jernih. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat timur yang terkenal dengan adab, tata karma dan sopan santunnya. Sehingga apapun yang diperbuat oleh media massa (khususnya) tentu harus membuat karya yang bertanggung jawab, mengandung nilai-nilai positif dan mengacu pada koridor yang telah ditetapkan. Tidak hanya sekedar untuk meningkatkan “rating” atau “oplah” belaka”.
Bagaimana tanggapan kawan?
Ditunggu konsistensi dan komitmen anda selanjutnya bung KPI…
Kita sepatutnya juga harus mengucapkan terima kasih kepada KPI yang berani telah bertindak tegas untuk menegakkan aturan main. Mari kita jadikan kasus Tukul ini sebagai suatu pembelajaran bagi media massa lainnya. Dengan catatan hendaknya tidak membunuh karakter dari si Tukul, melainkan “mengejar” dalang kreatif acara itu.
Bagaimana tanggapan kawan?
Ditunggu konsistensi dan komitmen anda selanjutnya bung KPI…
Tiada gading yang tak retak …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar