
Atas dasar “political will” itu, kita sebagai warga masyarakat tentu wajib bersyukur dan berterimakasih kepada Pemerintah yang senantiasa berupaya untuk “menciptakan” kesehatan yang didefinisikan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Selanjutnya dalam Pasal 7 dan 8 UU Kesehatan juga dijelaskan bahwa Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat serta Pemerintah bertugas menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan, dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu tetap terjamin.
Namun seiring dengan pelaksanaan Otonomi daerah sesuai dengan amanat UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya direvisi dengan UU 12 /2008 bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kata “otonom” ini cenderung menimbulkan multi tafsir dikalangan “beberapa” Pemerintahan Daerah (eksekutif dan Legislatif), seakan daerah dapat melakukan “improvisasi semau gue” dalam rangka mewujudkan tujuan otonomi daerah.
Lantas apa korelasi antara judul postingan dan “mukadimah” di atas? Sabar fren...,sebentar lagi akan saya ulas …he..he..(macem pakar betulan aza….).
Begini, realita yang terjadi di berbagai daerah kini sedang aktif-aktifnya melakukan inovasi-inovasi untuk mendongkrak perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bertujuan untuk “memakmurkan” daerahnya. Namun yang terjadi justru kebablasan....Saking semangatnya mencari sumber-sumber PAD tersebut…hak-hak masyarakat miskin dibidang kesehatan menjadi dikebiri, sehingga sangat wajar jika ada pameo yang menyatakan : orang miskin dilarang sakit!
Sebagai contoh, artikel yang dimuat pada abdimedia.com dan vhrmedia.com pada awal Oktober 2008 yang lalu tentang rencana kenaikan tarif layanan kesehatan RS di Propinsi Jawa Tengah antara 22.5 s/d 400 % dengan alasan naiknya sejumlah harga kebutuhan RS, seperti harga obat, jasa medis, hingga peralatan medis, tidak adanya kenaikan tarif sejak tahun 2003 sampai dengan alasan banyaknya dokter yang memilih membuka praktik di luar RS, karena tarif jasa medis yang “tidak memadai”.
Alasan-alasan diatas sungguh tidak bisa diterima! Bahkan, pada beberapa kesempatan sebelumnya (detikinet.com) Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah mengharapkan Pemerintah Daerah tidak menjadikan rumah sakit dan sektor pelayanan kesehatan masyarakat lainnya sebagai lahan untuk mencari pendapatan asli daerah (PAD). Sebab hal itu akan mempersulit RS melayani kebutuhan kesehatan publik secara maksimal. Berarti, selain tidak "mengindahkan" sang "komandan" kesehatan, Pemerintahan Daerah di Jawa Tengah juga tidak memiliki "sensitivitas sosial".
Atas dasar rencana itu Lembaga Perlindungan Konsumen (LP2K) Jateng mengecam pengesahan Perda tersebut. Koordinator LP2K Ngargono menyatakan pengesahan perda yang mengakibatkan kenaikan tarif pelayanan kesehatan itu membebani masyarakat. Sebagai contoh, tarif rawat inap kelas III di RS dr Moewardi Solo akan naik dari Rp 15.000 menjadi Rp 55.000 per hari, kenaikan yang sangat fantastis. Padahal notabene masyarakat yang kurang beruntung inilah yang memanfaatkan fasilitas ini, kalau masyarakat ”the have” bisa dipastikan minimal akan menggunakan fasilitas kelas I. "Seharusnya sebelum mengesahkan perda DPRD menerima masukan masyarakat dan memahami tiga hal, yakni perhitungan biaya operasional serta kemampuan dan kemauan masyarakat. Ini malah memanfaatkan momentum Jamkesmas yang menanggung biaya pengobatan masyarakat miskin, sehingga pemerintah menaikkan tarif tidak tanggung-tanggung," kata Ngargono.
Kaitannya dengan hal ini (walau berbeda kasus) mantan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Hasbullah Thabrany (solusihukum.com) menyatakan pemerintah seharusnya menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, bukan mengambil keuntungan finansial dari layanan kesehatan rakyat. Pelayanan kesehatan dan pendidikan disepakati sebagai hak asasi manusia, dan pemerintah bertanggung jawab menjamin akses seluruh penduduk.
Hasbullah mencontohkan, Institut Jantung Nasional di MALAYSIA berbentuk swasta, tetapi pemerintah membayar tagihannya. Penduduk hanya membayar 100-200 ringgit Malaysia (26,3-52,6 dollar AS) untuk bedah jantung. Di THAILAND, rumah sakit pemerintah dijadikan korporasi, yaitu organisasi publik, tetapi penduduk dicakup asuransi kesehatan. Mereka yang tak memiliki asuransi kesehatan akan ditanggung health security office lewat kebijakan 30 bath (0,9 dollar AS). Orang hanya membayar 30 bath atau kurang dari Rp 10.000 per kunjungan ke pelayanan kesehatan untuk semua penyakit. Di negara seperti JEPANG dan KOREA SELATAN tidak boleh ada rumah sakit yang bersifat cari untung meski didirikan oleh swasta. Sedangkan di INDONESIA, pemerintah justru cari untung dari rasa sakit yang diderita rakyatnya.
Dalam kaitannya dengan kenaikan retribusi kesehatan dengan contoh kasus di Propinsi Jawa Tengah ini, walaupun tidak menyalahi ketentuan tentang perundang-undangan Retribusi Daerah (PP 66/2001) seharusnya Pemda beserta DPRD tetap mengacu pada prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi jasa umum yang didasarkan pada kebijaksanaan daerah dengan tidak hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, tetapi juga KEMAMPUAN MASYARAKAT dan ASPEK KEADILAN.
Apapun yang terjadi, fungsi dan peranan dari sebuah Rumah Sakit tidak boleh bergeser kearah ”profit motive”. Apabila Rumah Sakit Umum (RSU) milik Pemerintah dijadikan sebagai “ATM” bagi pemerintah, alamat….....kalau di Jakarta ada RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), kalau di Jawa Tengah mungkin akan ada RSCD........ RUMAH SAKIT CAPEK DEEHH.......TUUUUOLOOOOONGGGGGG!
Tiada gading yang tak retak ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar