Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu), bahwa yang dimaksud dengan Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lazimnya disebut Pilkada adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pilkada berlangsung sebagai tindaklanjut dari bergulirnya era reformasi yang menghasilkan keinginan untuk menerapkan suatu proses demokrasi yang sesungguhnya dan direspon melalui Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, walaupun berdasarkan UU tersebut secara umum Pilkada belum termasuk dalam apa yang didefinisikan sebagai “Pemilu”. Barulah sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam “Pemilu”, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Berbicara tentang Pilkada langsung, bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini selanjutnya diubah melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik (sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan), atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang.
Berkaitan dengan berbagai hal diatas, jika kita melihat perkembangan pelaksanaan demokrasi di Indonesia bahwa sejak digulirkannya Regulasi Pemerintahan Daerah yaitu UU Nomor 5 Tahun 1974, UU No 22 Tahun 1999, UU 32 tahun 2004 hingga UU 12 Tahun 2008, telah terjadi berbagai perubahan sistem dalam penentuan kepala daerah, baik itu melalui penunjukan, pemilihan kepala daerah yang melalui pemilihan (keterwakilan) di jalur parlemen (DPRD) sampai dengan pemilihan langsung oleh rakyat, yang tentunya semua itu menimbulkan berbagai konsekuensi.
Pada sistem penunjukan, memang terkesan kurang demokratis dan dapat dianggap sebagai ajang “penanaman kuku”, rent seeking dll, walaupun juga memiliki sisi positif yaitu terjadinya harmonisasi dan sinkronisasi antara yang menunjuk dengan yang ditunjuk, tidak memunculkan “raja-raja kecil di daerah”, sangat legitimate, tidak membutuhkan cost yang besar serta tidak menimbulkan konflik horizontal.
Pada sistem keterwakilan, dimana KDH memiliki posisi “tawar” yang kuat, karena dia di dukung oleh kekuatan dominan di parlemen, cukup demokratis, tidak menimbulkan konflik horizontal, tidak membutuhkan “cost” sebagaimana pada pilkada langsung dll. Namun disisi lain, dapat menimbulkan rakyat tidak dapat menentukan pemimpinnya secara langsung, campur tangan yang cukup kuat dari kekuatan politik, menambah pundi-pundi keuangan wakil rakyat, dapat menimbulkan “kesewenang-wenangan” untuk melakukan “impeachment” dll.
Pada sistem pilkadasung, jelas sangat demokratis, rakyat dapat memilih pemimpinnya secara langsung ( walaupun melalui proses-proses tertentu seperti di usung oleh kekuatan parpol, kecuali calon independen), memiliki legitimasi yang kuat. Selain itu sisi negatif dari sebuah pilkadasung juga cukup mengkhawatirkan, antara lain terjadinya polarisasi dan konflik horizontal di lapisan masyarakat maupun birokrat, memunculkan “perasaan” sebagai raja-raja kecil, membutuhkan cost yang sangat besar baik itu dana pribadi (“membeli” bendera, biaya kampanye, belanja tim sukses dll) maupun dukungan dana APBN/APBD.
Dari berbagai sistem di atas, tentu kita semua sebagai insan yang mencintai negara dan bangsanya, berharap agar apapun pola dan sistem pelaksanaan demokrasi yang ada di Indonesia, khususnya dalam hal sistem penentuan pemimpin, baik negara maupun kepala daerah hendaknya lebih menghasilkan manfaat positif dibandingkan dengan mudharat (dampak negatif) yang bakal kita terima, sembari senantiasa untuk selalu menanamkan pendidikan politik kepada rakyat. Bagaimana menurut anda ???
Tiada gading yang tak retak ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar