
Dari berbagai pemberitaan media yang berkembang akhir-akhir ini, wacana suksesi kepemimpinan baik lokal maupun nasional menggelinding laksana “snowball”. Semua orang berupaya menampilkan performance yang terbaik, semua photo, gambar-gambar, maupun visualisasi yang terpampang pada baleho, spanduk maupun iklan di media cetak ataupun elektronik nampak tersenyum dengan ramahnya. Semua itu dilakukan adalah untuk mewujudkan kepentingan politiknya, yang di dalam arti sempit adalah langkah dan strategi untuk meraih dan merebut kekuasaan.
Namun di balik itu semua, (bukan bermaksud apripori) selain senyum dan keramah tamahan yang merupakan bagian dari ibadah itu adalah apakah semua yang dilakukan itu merupakan hal yang ikhlas dan murni (dari lubuk hati mereka yang paling dalam?). Jawabannya tentu mereka sendiri dan Sang Penguasa Alam yang mengetahui.
Politik tetaplah politik, karena semua pasti akan jelas terungkap setelah roda waktu terus berjalan. Berbagai “penampakan” dinamika sikap terjadi setelah usainya “peperangan”. Ada yang benar-benar konsisten akan “senyum dan keramah tamahannya”, namun ada pula yang menampakkan “keasliannya”, khususnya bagi mereka yang kalah dalam “peperangan”. Mereka berperan ibarat oposan yang seakan tidak pernah mau menerima kebijakan apapun yang dilakukan oleh sang “pemenang”. Meminjam istilah pakar manajemen perubahan Rhenald Kasali yang menyatakan bahwa dengan mudah orang-orang yang kalah mengevaluasi dan memberi nilai pada kepemimpinan orang yang terpilih dan seakan-akan merekalah guru besarnya.
Seperti diketahui Kepemimpinan merupakan suatu upaya mempengaruhi kegiatan pengikut (bawahan) melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu (Gibson, Ivanchevich, & Donnelly, 1995). Dari pengertian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu hubungan antar individu yang tertuju pada faktor kekuasan dan pengaruh. Ketika seorang individu berusaha mempengaruhi perilaku individu lainnya dalam suatu kelompok tanpa menggunakan bentuk paksaan, maka usaha ini dapat didefinisikan sebagai kepemimpinan.
Didalam teori kepemimpinan, Gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh seseorang pada dasarnya adalah :
1. Kepemimpinan Transaksional
Adalah sebuah imbalan untuk mendapatkan kepatuhan (Bass, dalam Yukl, 1994). Dalam menggunakan gaya transaksi, pemimpin bersandar pada contingent reward leadership (imbalan) dan management by exception (hukuman).
Kepemimpinan berdasarkan imbalan merupakan suatu bentuk pertukaran aktif dan positif antara pemimpin dan bawahan, bawahan diberi imbalan atau dihargai atas tercapainya tujuan yang telah disepakati. Imbalan diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Sedangkan kepemimpinan berdasarkan hukuman merupakan transaksi aktif dan pasif antara pemimpin dan bawahan (Hater & Bass, 1988), dengan cara kritik, instruksi dan lain-lain.
2. Kepemimpinan TransformasionalKepemimpinan berdasarkan imbalan merupakan suatu bentuk pertukaran aktif dan positif antara pemimpin dan bawahan, bawahan diberi imbalan atau dihargai atas tercapainya tujuan yang telah disepakati. Imbalan diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Sedangkan kepemimpinan berdasarkan hukuman merupakan transaksi aktif dan pasif antara pemimpin dan bawahan (Hater & Bass, 1988), dengan cara kritik, instruksi dan lain-lain.
Transformasi diartikan sebagai suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Pemimpin transformasional berusaha mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan: (a) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, (b) meminta individu mementingkan kepentingan tim di atas kepentingan pribadi, dan (c) mengubah tingkat kebutuhan (Hirarki Maslow) bawahan atau memperluas kebutuhan bawahan.
Berdasarkan gaya kepemimpinan tersebut, sudah selayaknya Calon Pemimpin dan atau Pemimpin yang saat ini sedang “beredar”, untuk mulai berfikir secara reformis, yaitu melakukan perubahan mindset untuk selalu berusaha meningkatkan perhatian, memberi stimulasi intelektual dan memberi inspirasi pada bawahan untuk lebih mementingkan kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan kelompok atau pribadi semata.
Suatu studi yang dilakukan Rowley pada perusahaan besar sekelas Microsoft (dalam Kasali, 2008) ditemukan bahwa pikiran-pikiran otomatik dan kebiasaan yang dibentuk oleh core belief (apa yang kita percayai, otomatis membentuk kita) adalah termasuk salah satu hal yang sangat dibutuhkan bagi calon pemimpin. Dalam studi tersebut hasilnya sungguh mengejutkan, yaitu bahwa tidak semua pemimpin memiliki percaya diri yang kuat dan tidak semua pemimpin itu “menjadi”, melainkan dibentuk orang lain ( karena pemberian berupa jabatan, yang itupun bukan karena kinerja, tetapi karena upaya kelompok massa, atau keluarga seseorang), dan menurut JC Maxwell, pemimpin demikian disebut sebagai pemimpin terendah.
Kondisi seperti ini banyak terjadi di negeri kita, mereka senantiasa mencari kompensasi untuk menutupi kekurangannya. Dengan berbagai dalih mereka menciptakan program dan kegiatan yang sesungguhnya tidak sinkron dan realistis jika dikaitkan dengan tugas pokok yang diembannya, sehingga alhasil pelaksanaan tugas tidak berjalan secara optimal.
Pemimpin yang percaya diri akan memiliki keteguhan dan merasa mampu menyelesaikan tugas dengan berhasil, karena mereka berkompeten dan tahu apa yang harus dilakukan. Kompetensi yang tanpa didukung core belief yang kuat sama dengan orang yang membangun rumah di atas pasir (Kasali, 2008).
Semua hal diatas sesungguhnya cukup terkait dengan gambaran tentang kepemimpinan yang ada di negeri kita, sehingga sangatlah tepat kalau mulai saat ini kita mereform diri dan lingkungan kita untuk tidak terlibat dalam kehidupan yang penuh “kompensasi” negatif, seperti menonjolkan sikap asal bapak senang, sikap menjilat pimpinan, sikap “nggeh-nggeh” dan lain-lain.
Kondisi ketidakpercayadirian ini secara implisit terlihat dari alotnya penggodokan RUU Pemilu Presiden dan Wapres. Berbagai cara dilakukan oleh kekuatan politik untuk berusaha menjegal lawan politiknya, seperti soal penentuan syarat pendidikan bagi capres, syarat perolehan suara untuk pengajuan pasangan calon dari parpol/gabungan parpol dan lain-lain. Kecemasan ini bermula karena sang pemimpin/calon pemimpin tidak mempunyai kekuatan emosional yang memadai, mereka (seperti) tidak menyadari bahwa apun yang terjadi dalam hidup ini adalah keseimbangan, antara inteligensi, emosional dan sikap moral. Tidaklah berlebihan dan sangat kemungkinan jika mereka kemudian “menitipkan” kecemasan itu secara simultan dan hierarkies kepada para pendukungnya untuk ”bersuara keras” memaksakan kehendak sempitnya.
Di era globalisasi yang penuh tantangan ini, bangsa kita seharusnya sudah mulai berfikir secara global dan dinamis, dengan menghilangkan sikap orthodoks yang menggiring kita berfikir secara skeptis. Sudah saatnya juga kita berfikir secara objektif, serta mengedepankan kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan pribadi.
Di era globalisasi yang penuh tantangan ini, bangsa kita seharusnya sudah mulai berfikir secara global dan dinamis, dengan menghilangkan sikap orthodoks yang menggiring kita berfikir secara skeptis. Sudah saatnya juga kita berfikir secara objektif, serta mengedepankan kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan pribadi.
Tiada gading yang tak retak .......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar