
Masih ingat kisah Sumanto, sang kanibal dari Purbalingga? Rupanya, nama pria asal Desa Plumutan Kecamatan Kemangkon itu bukan hanya diasosiasikan dengan setiap perbuatan kanibalisme. Tetapi juga telah memberi ilham bagi penyusun RUU KUHP (http://www.hukumonline.com).
Nama Sumanto mendadak menjadi pembicaraan publik seiring terbongkarnya kasus pencurian mayat Nyonya Rinah dari kuburan Srengseng di Desa Majatengah, Kecamatan Kemangkon pada Januari 2003 silam. Belakangan terungkap, bahwa Sumanto juga telah memakan mayat Nyonya Rinah, 16 jam setelah nenek berusia 81 tahun itu dikubur. Terungkap pula, bahwa Nyonya Rinah adalah mayat ketiga yang disantap Sumanto, selama ia memperdalam ilmu kesaktian.
Pada Juni 2003, PN Purbalingga menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada Sumanto. Pengadilan Tinggi Jawa Tengah pun menguatkan vonis tersebut. Upaya Sumanto melepaskan diri dari jerat hukum gagal setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya (Putusan No. 1979 K/Pid/2003).
Kasus Sumanto ini ternyata kemudian mengilhami dari rencana lahirnya suatu produk hukum baru. Dimana dalam acara sosialisasi RUU KUHP di Hotel Sahid Jaya, 23-24 Maret 2008 lalu terungkap bahwa kasus Sumanto telah mendorong pembuat undang-undang untuk menyusun suatu klasifikasi tindak pidana baru.
Ternyata Sumanto tetap tidak meninggalkan “profesi”nya sebagai seorang “kanibal”, karena alih-alih untuk mengisi acara dan meningkatkan “rate” empat mata di Trans TV pada tanggal 29 Oktober 2008, justru kejadian menyebabkan acara ini “dibredel” oleh Komisi Penyiaran Indonesia (lihat di Tukul “tersandung” Kodok ).
Pada awalnya kanibalisme pada manusia terjadi dalam situasi yang sulit, misalnya nelayan yang karam dan terdampar di suatu kepulauan yang terpencil, dimana disana mereka sudah tidak dapat lagi menemukan makanan dalam bentuk apapun, karena itu merupakan satu satunya cara untuk “survive”, atau juga terdapat pada kasus2 untuk tujuan ritual-ritual tertentu.
Tapi biarlah Sumanto adalah seorang Sumanto, anjing menggonggong kafilah jangan berlalu. Namun jika mengamati apa itu “kanibalisme”, justru saya terusik dan tertarik untuk melihat dari sisi yang berbeda. Karena apa, sekarang di negeri kita sesungguhnya sangat banyak “tragedi” serupa terus berlangsung dalam kondisi yang berbeda, seperti yang terjadi pada seorang guru yang baik hati seperti mas Sawali
Kondisi kanibalisme yang saat ini berlangsung memang cenderung “halus”, tidak terlihat sebagai upaya kekerasan dan pemaksaan yang harus sampai mengeluarkan darah atau menyebabkan kepada kematian, tetapi, secara tidak langsung, justru kondisi ini akan menjadi “duri dalam daging” dan hidup bagaikan seekor “lintah” yang terus menerus menghisap darah, hingga sang korban terlihat pucat, sakit dan akhirnya …selesai.
Uhh..sungguh kondisi yang sangat mengenaskan, semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan rekan-rekan sekalian…Tuk Mas Sawali, saya minta maaf bukan untuk bermaksud “mengekspose beban” dan membangkitkan luka lama...tapi hal ini hanya serta merta hanya sebagai suatu refleksi bagi kita sekalian.
Apakah ada teman-teman yang pernah menjadi korban dari “kanibalisme”? Silahkan komentar dan berbagi kisah disini???
Apakah ada teman-teman yang pernah menjadi korban dari “kanibalisme”? Silahkan komentar dan berbagi kisah disini???
Tiada gading yang tak retak …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar