Rabu, 04 Februari 2009

Barter

Dijaman dahulu, di saat manusia belum mengenal fungsi uang, manusia menggunakan sistem barter atau sistem pertukaran antara barang atau jasa dengan barang atau jasa lainnya. Akibat sulitnya untuk menemukan kesamaan keinginan dalam pertukaran barang dengan sistem barter, maka dipergunakanlah uang sebagai alat pembayaran yang sah dan diterima dengan suka rela.

Kesulitan yang dialami oleh manusia dalam barter adalah kesulitan mempertemukan orang-orang yang saling membutuhkan dalam waktu bersamaan. Kesulitan itu telah mendorong manusia untuk menciptakan kemudahan dalam hal pertukaran, dengan menetapkan benda-benda tertentu sebagai alat tukar. Sampai sekarang barter masih dipergunakan pada saat terjadi krisis ekonomi di mana nilai mata uang mengalami devaluasi akibat hiperinflasi.

(lagi-lagi) Di negara kita barter bukan hanya digunakan pada saat devaluasi semata, namun juga banyak digunakan oleh oknum-oknum aparat yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Contoh kasus yang jelas adalah terlihat pada beberapa kasus kecelakaan transportasi. Sebagaimana diungkap oleh Menteri Perhubungan RI pada Majalah Tempo edisi 19-25 Januari 2009 pasca tenggelamnya kapal Van Der Wijk Teratai Prima di kawasan perairan "Segitiga Bermuda Indonesia" Masalembo yaitu sedikitnya ada 103 nama yang dilaporkan ke posko Pare-pare tapi tidak tercatat dalam manifes. Dari 35 korban selamat juga hanya ada 14 nama yang terdaftar di manifes, selain itu peralatan keselamatan kapal juga sangat tidak memadai.

Belum lagi dengan kejadian-kejadian lain seperti pesawat terbang Boeing 737-200 dari Maskapai Mandala Airlines yang jatuh dan terbakar di sekitar bandara Polonia tahun 2005 yang lalu yang menewaskan sekitar 143 orang diantaranya Gubernur Sumut (Tengku Rizal Nurdin) dan mantan Gubernur Sumut periode sebelumnya (Raja Inal Siregar) yang ternyata "mungkin" disebabkan kelebihan muatan, sehingga pesawat kehilangan daya angkut, dan setelah diperiksa, ternyata muatan yang berlebih itu ternyata adalah buah durian!

Nah, beberapa alasan penyebab kecelakaan seperti contoh kasus diatas merupakan alasan yang sangat tidak masuk di akal. Pihak yang menangani traffic rank transportasi seperti Administrasi Pelabuhan, Dinas Perhubungan (LLAJ), PT KAI dan lain-lain yang sesungguhnya pihak yang paling bertanggung jawab terhadap "pelanggaran-pelanggaran" itu. Mengapa bisa terdapat kelebihan penumpang? Mengapa kendaraan yang sesungguhnya tidak laik masih diperkenankan untuk beroperasi? Dan lain-lain....Kan mereka punya kewenangan untuk itu semua!

Jawabannya tiada lain tiada bukan adalah berlangsungnya proses rent seeking, yaitu adanya oknum-oknum yang "mengeruk keuntungan" dari kejadian ini. Dengan kata lain, oknum petugas sudah jelas-jelas melakukan proses barter masa kini yaitu barter antara uang masuk dengan nyawa.

Seharusnya, melalui Institusi terkait seperti Departemen Perhubungan ataupun Kementerian Negara BUMN harus menindak tegas oknum-oknum yang mencoba "main empat mata", serta meningkatkan pengawasan internal sehingga tidak menjadi preseden buruk di masa yang akan datang.

Kita seakan cenderung berprinsip seperti keledai, dengan rela dan bangga jatuh dua kali di lubang yang sama. Padahal untuk mengantisipasi kecelakaan transportasi, Pemerintah sudah membentuk Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) pada tahun 1999 yang lalu dengan visi : (baca baik-baik) "Meningkatnya keselamatan transportasi dengan berkurangnya kecelakaan oleh penyebab serupa".

Jika membaca beberapa hasil laporan investigasi KNKT kepada saya yang dikaitkan dengan kewenangannya, dapat diketahui bahwa KNKT telah membeberkan secara detail hasil investigasi dan penelitian yang meliputi analisis dan evaluasi sebab-sebab terjadinya kecelakaan transportasi, memberikan rekomendasi bagi penyusunan perumusan kebijaksanaan keselamatan transportasi dan upaya pencegahan kecelakaan transportasi serta melakukan penelitian penyebab kecelakaan transportasi dengan bekerjasama dengan organisasi profesi yang berkaitan dengan penelitian penyebab kecelakaan transportasi.

Kita tidak pernah menghargai arti sebuah nyawa. Coba lihat negara yang kita anggap sebagai Zionis, hanya dengan salah satu dalih untuk membebaskan seorang kopral hitler, mereka langsung menyerang Palestine. Kalau kita....? TKI dianiaya, tidak digaji, diperkosa, dibunuh dan lain.....kita hanya diam dan diam...

Jika kita masih berkutat dengan sistem dan budaya yang ada seperti sekarang ini, sangatlah wajar jika kita terus terpuruk. Moda transportasi kita akan terus carut marut, bahkan Maskapai Penerbangan Nasional dicekal dan dicemoohkan di luar negeri! Lantas dimana harga diri kita..?

Tiada gading yang tak retak ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar