
Bak perjalanan mudik, sebelum berpiknik, tentu kami mempersiapkan segala sesuatunya, baik itu pengecekan ranmor, beberapa stel pakaian termasuk underwear hingga perlengkapan kebutuhan anak-anak. Perjalanan dimulai sekitar pukul dua siang. Setelah dua puluh menit berselang, perjalanan kami mulai “terganggu” oleh berbagai “aktifitas” di jalan, mulai dari galian pipa PDAM sampai dengan pemasangan jaringan kabel serat optik. Kalau sekedar galian rapet sih tidak apa-apa, tapi itu pun tentu berkaitan dengan jamu sari rapet…he..he.
Jika diamati, jalanan yang kami lintasi sepertinya baru saja mengalami pengaspalan, karena terlihat jelas masih terdapat kesan "basah" dari aspal itu. Walaupun saya bukanlah seorang ahli dibidang aspal mengaspal, tetapi karena saat ini sedang trend-trendnya aspal jenis itu, maka sayapun memberikan kesimpulan bahwa aspal yang digunakan adalah sok tau pasti aspal hotmix.
Lantas tiba-tiba, putra sulung kami yang saat ini masih duduk di bangku kelas 1 SD bertanya kepada saya, “ Pa, kabel serat optik itu apa, galian pipa PDAM itu apa?”. (Mungkin terbaca olehnya plang pengumuman dan peringatan yang tertera di pinggir jalan). Lalu saya jawab saja sekenanya dan tentu sepanjang yang saya ketahui tentang kabel dan pipa tadi. Karena mungkin kurang merasa puas dengan jawaban yang saya berikan, akhirnya ananda kami itu bertanya sambil mengkritisi kembali,” Pa, sayang yah, padahal jalannya kan sudah bagus, tetapi mengapa harus digali-gali lagi.” Kembali pertanyaan itu saya jawab sekenanya. Hingga akhirnya kami tiba di tempat tujuan refreshing.
Keesokan petangnya, setelah maghrib dan makan malam, kamipun kembali pulang. Perjalanan kami menuju pulang diiringi dengan turunnya tetes-tetes air keberkahan dari-NYA sembari sekali dua terdengar suara petir….Tiba-tiba ketika sedang asyik-asyiknya sedang menonton film edukasi kesukaannya, si sulung kembali bertanya, “Pa, orang-orang yang tinggal di lereng-lereng bukit itu kok gak takut ya, apalagi sekarang musim hujan, kalau tanah bukit itu longsor, kan bisa bahaya!”. Lantas saya bertanya, darimana kakak (sapaan kesayangan kami untuk si sulung) tau ada orang-orang tinggal di lereng bukit?” Papa, gimana sih, kan kelihatan tuh dari lampu-lampu listriknya.” Oooo, iya yah..jawabku sambil mesem-mesem.. Sambil kendaraan berjalan terus menuju pulang, saya terus memikirkan beberapa hal yang ditanyakan dan dikritisi oleh anak sulung kami tersebut dari “realita kehidupan” yang berlangsung disekitarnya. Lalu saya berfikir, anak-anak yang notabene usianya masih 6 tahun itu saja sudah bisa melihat beberapa “kejanggalan”, sementara kita yang sudah dewasa koq cenderung “menutup mata”!
Saya teringat dengan beberapa “pengajaran” yang pernah saya terima maupun referensi yang pernah saya baca. “Kegalauan” yang diamati oleh anak kami sesungguhnya berawal dari lemahnya koordinasi dan perencanaan yang kita miliki. Saya terus berandai-andai, jika saja masing-masing “pihak” yang terkait dengan pertanyaan anak saya tadi turut “memikirkan” dan merealisasikan koordinasi, tentu akan sangat indah. Tidak ada lagi jalanan yang mulus kemudian dibongkar dengan galian pipa, tidak ada lagi brem jalan yang terusik dengan jaringan kabel serat optik bahkan dapat meminimalisir korban jiwa akibat bencana tanah longsor bagi masyarakat yang bermukim di lereng perbukitan.
Sepanjang yang saya ketahui, bahwa kawasan yang memiliki kemiringan diatas 40 derajat, adalah kawasan yang tidak boleh dihuni atau dijadikan tempat tinggal. Kalau memang tidak boleh dihuni, mengapa Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersedia memasangkan jaringan listrik mereka? Saya bukan berarti apriori dengan masyarakat yang tinggal di kawasan lereng perbukitan dimaksud, tetapi saya kecewa dengan ketidaktegasan PLN, mereka sepertinya terlalu egois, hanya demi untuk mengejar “penerimaan negara”, mereka dengan rela melanggar koridor yang ada. Sudah jelas pemerintah daerah telah melarang masyarakat bermukim di kawasan tertentu, kenapa juga masih “dilayani” pemasangan arus listriknya? Begitu juga dengan perusahaan penyedia jasa telekomunikasi maupun PDAM, mbok yah kalau merencanakan untuk membuat dan mengadakan sambungan baru terlebih dahulu berkoordinasi dengan institusi yang terkait dengan pengerjaan jalan dan seterusnya. Jika ada koordinasi, tentu tidak akan ada lagi konflik dalam sidang kabinet yang sampai membuat Presiden SBY marah-marah, tidak akan ada lagi konflik antara TNI dan Polri dan tidak akan ada lagi miskoordinasi-miskoordinasi yang lain…………..
Itulah kita…..
Dari kisah diatas, jelas-jelas masih tersirat bahwa kita masih mengedepankan sikap ego sektoral. Kita masih menganggap diri kita sendiri yang hebat, kita masih mengganggap diri kita yang paling berperan, kita belum berfikir untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak jika hendak melakukan sesuatu…..atau malah jangan-jangan “sulitnya” berkoordinasi karena “sesuatu”? Seperti biasa, karena saya merasa “berhutang” kepada si soewoeng , eh.. .si sulung, sebelum ia tidur, saya kembali mengulas dan menceritakan secara rinci apa-apa yang menjadi pertanyaannya tadi, dengan harapan agar di saat dewasa kelak ia bisa menghargai betapa indahnya jalinan koordinasi, dan tak terasa akhirnya kami semua tertidur….
Oucchhh,....koordinasi…, suatu yang mudah diucapkan, tapi sangat sulit untuk diwujudkan… Apa sesungguhnya Koordinasi itu? Mengapa Koordinasi sulit untuk diwujudkan? Gimana tanggapan teman-teman, pernahkah menjumpai masalah dalam berkoordinasi?
Tiada gading yang tak retak…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar