
Jika kebocoran ban ini menimpa kita, tentu kita akan merasa sangat tidak nyaman dan terganggu, apalagi bila kebocoran ban terjadi pada saat kita sedang jalan-jalan sore dengan keluarga atawa kekasih, atau bahkan sedang dalam perjalanan keluar kota dan tiba-tiba meletus balon hijau ban bocor ditempat yang sunyi…duarrr...semoga deh, jangan terjadi pada kita semua.
Saya saat ini tidak bermaksud untuk mempromosikan suatu produk kepada teman-teman, karena belum ada kontrak antara saya dengan pabrikan ban (*btw klo ada yang mau nawarin kontrak, boleh juga tuuuhh..). Saya juga bukanlah tukang tambal ban….., ataupun bekerja di bidang yang terkait dengan perbengkelan. Apalagi Superstar bak senandungnya Project Pop... Saya adalah orang biasa yang merasa khawatir dengan beberapa kebijakan pemerintah akhir-akhir ini, yang cenderung untuk “mensentralisasikan” kebijakan. Diantara sekian banyak kebijakan yang “terpaksa” diambil, saya contohkan adalah kisah seputar selebritis...eh…kisah seputar ban.
Yang saya ketahui, bahwa ban pada prinsipnya terdiri dari dua jenis, satu ban angin/tube type (tanpa ban dalam) dan satu lagi ban tubeless. Apabila ban bocor, sudah pasti tentu namanya tetap bocor. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara, teknik atau metode yang harus kita lakukan untuk menambal kebocoran itu? Apakah ban tube kalau bocor bisa diselesaikan dengan cara layaknya menambal ban tubeless? Atau apakah ban tubeless yang bocor bisa ditambal sebagaimana menambal ban tube?
Nah, dari cerita diatas, bila kasus tambal ban yang bocor dianalogikan dengan strategi peningkatan perekonomian masyarakat atau penanggulangan suatu masalah sosial, maka menurut hemat saya Pemerintah harus berfikir dan bertindak ibarat "seorang tukang tambal ban". Pemerintah seharusnya melakukan kajian secara cermat dan tepat (tidak hanya kutak katik dari belakang meja) ataupun "menggeneralisasikan" kebijakan. Tidaklah mungkin tipe, proses dan dimensi kemiskinan pada masyarakat petani sama dengan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan? Tidak mungkin sama strategi untuk meningkatkan perekonomian petani dan nelayan? Wong sudah jelas petani memegang cangkul, sementara nelayan memegang jala atau kail!
Terkait dengan hal diatas, dan untuk mendapatkan suatu "garis merah" yang jelas, antara masalah dengan solusi, disinilah seharusnya diperlukan optimalisasi peran lembaga penelitian yang ada, seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) dan Badan Sertifikasi Nasional (BSN). Setelah itu Pemerintah mengambil kebijakan berdasarkan elaborasi antara berbagai indikator termasuk hasil penelitian itu. Sehingga diharapkan output penelitian dapat bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Kaitannya dengan penelitian, saya tertarik dengan artikel yang dimuat pada majalah Tempo edisi 1-7 Desember 2008, dimana ada seorang staf perencanaan PLN Wilayah Sumatera Barat atas nama Zamrisyaf yang berhasil menemukan pemanfaatan energi listrik dari gelombang laut. Ia merancang Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sistem Bandulan/ponton, yang ternyata belum mendapat “sambutan yang berarti” dengan alasan PLN tidak memiliki pos pengeluaran untuk mendanai temuan itu. Padahal jika Pemerintah mau "sedikit berkorban", sesungguhnya hal ini merupakan temuan yang luar biasa. Kita mengetahui bahwa Indonesia adalah termasuk salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Bila diaplikasikan10 % saja dari total 81 juta kilometer panjang pantai Indonesia, untuk pembangkit listrik ini, kurang lebih akan menghasilkan 16 gigawatt, (asumsi 20 kb/ponton) berarti akan sangat banyak efesiensi Sumber Daya Alam Indonesia, so pasti tidak ada lagi pemadaman listrik bergilir....(*Saya hanya mampu mengangguk angguk dan bertanya dalam hati*..) Mengapa giliran blue energi dan supertoy termasuk sextoys Pemerintah kok cepat “meresponnya” ya?
Di negara-negara maju, keberadaan lembaga riset sangatlah "penting dan elit”, bahkan sebagian besar kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah mereka adalah berdasarkan tindaklanjut hasil riset yang berkualitas, itupun masih juga terkadang menemui deviasi, konon lagi jika pengambilan kebijakan tidak didasarkan/jarang memanfaatkan hasil penelitian? Tentu akan lebih amburadul lagi. Ironis memang, kita tidak pernah berfikir untuk mengoptimalkan lembaga riset, bahkan JK beranggapan Lembaga riset kini hanya dijadikan sebagai museum….
Apa pendapat teman-teman tentang “ban bocor” dan keberadaan lembaga riset?Tiada gading yang tak retak…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar