Minggu, 28 Desember 2008

Nomor Sepatu?

Proses demokrasi di Indonesia saat ini ternyata sudah memasuki suatu babak baru yang lebih baik, yaitu dengan diterapkannya sistem proporsional terbuka murni dalam pemilu legislatif. Hal itu ditandai dengan dikabulkannya sebagian permohonan uji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) RI pada hari Selasa, 23 Desember 2008.

Pasal 214 UU Pemilu yang heboh itu adalah :
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP);
b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut;

Kita sesungguhnya patut bersyukur atas sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang “menganulir” pasal 214 ini, karena sudah sangat jelas hal ini sangat tidak demokratis dan tidak adil. Sangat jelas terlihat bagaimana "permainan” di tubuh suatu parpol. Caleg yang “dekat” dengan pimpinan parpol cenderung untuk memiliki “nomor pasti”, sementara caleg-caleg nomor "bush dilempar sepatu" yang lain harus berjuang ekstra keras untuk mencapai angka BPP, jika tidak tercapai, alhasil suara “tersedot” ke “nomor pasti” tadi. Caleg “tak pasti” lelah dan kalah, sementara caleg yang memiliki “nomor pasti” hanya tersenyum sumringah ibarat lintah yang kenyang setelah menghisap darah korbannya.

Wacana untuk menghempang sistem terbuka terbatas (sebelum dikabulkannya sebagian permohonan uji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008) sesungguhnya sudah pernah dilakukan, yaitu oleh Partai Amanat Nasional (PAN), namun ditolak oleh fraksi-fraksi lain di DPR. Kondisi ini kemudian memaksa PAN untuk membuat kebijakan sistem proporsional terbuka murni secara intern (walaupun tidak dapat mempengaruhi ketentuan yang telah ditetapkan). Atas diberlakukannya kebijakan intern pada tubuh PAN, alhasil banyak juga partai-partai Politik yang latah dan mengikuti jejak petualang PAN.

Menurut MK, ketentuan Pasal 214 UU a quo adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan jelas merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Dilihat dari dimensi keadilan dalam pembangunan politik, pada saat ini Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden, DPD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga menjadi adil pula jika pemilihan anggota DPR atau DPRD juga bersifat langsung memilih orang tanpa mengurangi hak-hak politik partai politik, sehingga setiap calon anggota legislatif dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing. Selain itu, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.

Untuk itu, bagi teman-teman yang ingin mengabdikan dirinya sebagai wakil rakyat, kami hanya bisa menghimbau dan memberi semangat ..... teruslah berjuang. Raih simpati dan berikan empati. Jangan racuni kami dengan "materi". Didik dan ajarilah kami, sehingga kami dapat berpolitik dengan cerdas dan santun. Tunjukkan program dan kegiatan yang benar-benar tepat dengan tetap menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Bawakanlah aspirasi kami, bukan hanya aspirasi "kendaraan roda empat" saudara, untuk menuju bangsa yang benar-benar "merdeka dan berdaulat". Kami gantungkan harapan kami kepada anda sekalian...wahai wakil rakyat...

Saya teringat dengan bait lagu mas Iwan Fals : Wakil rakyat kumpulan orang hebat, bukan kumpulan orang-orang dekat apalagi sanak famili.. Wakil rakyat dipilih bukan di lotere, meski kami tak kenal siapa saudara...

Adakah teman-teman yang ingin jadi wakil rakyat? Masih percayakah teman-teman dengan wakil rakyat? Mencontreng atawa golput???

Tiada gading yang tak retak...

Sabtu, 27 Desember 2008

Liburan = Pereda Stress


Senang sekali rasanya liburan kuliah seperti sekarang bisa dimanfaatkan untuk ngumpul sama keluarga dan teman-teman.
emm..syukur di medan banyak tempat yang bisa kunjungi untuk berliburan.Salah satunya menurut saya yang paling menyenangkan adalah "Hillpark Sibolangit". Tempat rekreasi bisa dikatakan "DUFAN-nya MEDAN".Banyak wahana bermain untuk dewasa ataupun anak-anak yang memacu adrenalin dan pastinya bisa menghilangkan kejenuhan dari rutinitas yang ada.Salah satu wahana yang paling menarik di tempat ini menurut saya seperti yang terlihat pada gambar disamping namanya adalah "GELEGAR".Kereta yang dipacu dengan kencang dan rute yang berkelok-berkelok sesaat bisa membuat kepala kita sedikit pusing dan mual,hihihi...
Padahal sudah 2 kali saya naik ke wahana itu tapi tetap saja memacu jantung berdetak lebih kencang dan membuat keringat dingin,hehehe...
Untuk saat ini bila dibandingkan dengan Dufan yah saya rasa tempat ini masih belum bisa bersainglah.Tapi tetap SERUnya tidak kalah dibandingkan DUFAN ANCOL.

Senin, 22 Desember 2008

Sebuah keegoisan!

Untuk sekedar menghilangkan kepenatan setelah satu minggu melaksanakan berbagai aktifitas, akhir pekan kemarin kami sekeluarga berpiknik ria. Memang tidak begitu jauh jarak yang kami tempuh utuk memilih lokasi liburan akhir pekan itu, “hanya” berjarak sekitar dua jam perjalanan dari kota dimana kami berdomisili, tapi ternyata cukup "mengganggu" aktifitas kunjungan ke rumah temah-teman..maafin yahh..

Bak perjalanan mudik, sebelum berpiknik, tentu kami mempersiapkan segala sesuatunya, baik itu pengecekan ranmor, beberapa stel pakaian termasuk underwear hingga perlengkapan kebutuhan anak-anak. Perjalanan dimulai sekitar pukul dua siang. Setelah dua puluh menit berselang, perjalanan kami mulai “terganggu” oleh berbagai “aktifitas” di jalan, mulai dari galian pipa PDAM sampai dengan pemasangan jaringan kabel serat optik. Kalau sekedar galian rapet sih tidak apa-apa, tapi itu pun tentu berkaitan dengan jamu sari rapet…he..he.

Jika diamati, jalanan yang kami lintasi sepertinya baru saja mengalami pengaspalan, karena terlihat jelas masih terdapat kesan "basah" dari aspal itu. Walaupun saya bukanlah seorang ahli dibidang aspal mengaspal, tetapi karena saat ini sedang trend-trendnya aspal jenis itu, maka sayapun memberikan kesimpulan bahwa aspal yang digunakan adalah sok tau pasti aspal hotmix.

Lantas tiba-tiba, putra sulung kami yang saat ini masih duduk di bangku kelas 1 SD bertanya kepada saya, “ Pa, kabel serat optik itu apa, galian pipa PDAM itu apa?”. (Mungkin terbaca olehnya plang pengumuman dan peringatan yang tertera di pinggir jalan). Lalu saya jawab saja sekenanya dan tentu sepanjang yang saya ketahui tentang kabel dan pipa tadi. Karena mungkin kurang merasa puas dengan jawaban yang saya berikan, akhirnya ananda kami itu bertanya sambil mengkritisi kembali,” Pa, sayang yah, padahal jalannya kan sudah bagus, tetapi mengapa harus digali-gali lagi.” Kembali pertanyaan itu saya jawab sekenanya. Hingga akhirnya kami tiba di tempat tujuan refreshing.

Keesokan petangnya, setelah maghrib dan makan malam, kamipun kembali pulang. Perjalanan kami menuju pulang diiringi dengan turunnya tetes-tetes air keberkahan dari-NYA sembari sekali dua terdengar suara petir….Tiba-tiba ketika sedang asyik-asyiknya sedang menonton film edukasi kesukaannya, si sulung kembali bertanya, “Pa, orang-orang yang tinggal di lereng-lereng bukit itu kok gak takut ya, apalagi sekarang musim hujan, kalau tanah bukit itu longsor, kan bisa bahaya!”. Lantas saya bertanya, darimana kakak (sapaan kesayangan kami untuk si sulung) tau ada orang-orang tinggal di lereng bukit?” Papa, gimana sih, kan kelihatan tuh dari lampu-lampu listriknya.” Oooo, iya yah..jawabku sambil mesem-mesem.. Sambil kendaraan berjalan terus menuju pulang, saya terus memikirkan beberapa hal yang ditanyakan dan dikritisi oleh anak sulung kami tersebut dari “realita kehidupan” yang berlangsung disekitarnya. Lalu saya berfikir, anak-anak yang notabene usianya masih 6 tahun itu saja sudah bisa melihat beberapa “kejanggalan”, sementara kita yang sudah dewasa koq cenderung “menutup mata”!

Saya teringat dengan beberapa “pengajaran” yang pernah saya terima maupun referensi yang pernah saya baca. “Kegalauan” yang diamati oleh anak kami sesungguhnya berawal dari lemahnya koordinasi dan perencanaan yang kita miliki. Saya terus berandai-andai, jika saja masing-masing “pihak” yang terkait dengan pertanyaan anak saya tadi turut “memikirkan” dan merealisasikan koordinasi, tentu akan sangat indah. Tidak ada lagi jalanan yang mulus kemudian dibongkar dengan galian pipa, tidak ada lagi brem jalan yang terusik dengan jaringan kabel serat optik bahkan dapat meminimalisir korban jiwa akibat bencana tanah longsor bagi masyarakat yang bermukim di lereng perbukitan.

Sepanjang yang saya ketahui, bahwa kawasan yang memiliki kemiringan diatas 40 derajat, adalah kawasan yang tidak boleh dihuni atau dijadikan tempat tinggal. Kalau memang tidak boleh dihuni, mengapa Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersedia memasangkan jaringan listrik mereka? Saya bukan berarti apriori dengan masyarakat yang tinggal di kawasan lereng perbukitan dimaksud, tetapi saya kecewa dengan ketidaktegasan PLN, mereka sepertinya terlalu egois, hanya demi untuk mengejar “penerimaan negara”, mereka dengan rela melanggar koridor yang ada. Sudah jelas pemerintah daerah telah melarang masyarakat bermukim di kawasan tertentu, kenapa juga masih “dilayani” pemasangan arus listriknya? Begitu juga dengan perusahaan penyedia jasa telekomunikasi maupun PDAM, mbok yah kalau merencanakan untuk membuat dan mengadakan sambungan baru terlebih dahulu berkoordinasi dengan institusi yang terkait dengan pengerjaan jalan dan seterusnya. Jika ada koordinasi, tentu tidak akan ada lagi konflik dalam sidang kabinet yang sampai membuat Presiden SBY marah-marah, tidak akan ada lagi konflik antara TNI dan Polri dan tidak akan ada lagi miskoordinasi-miskoordinasi yang lain…………..

Itulah kita…..
Dari kisah diatas, jelas-jelas masih tersirat bahwa kita masih mengedepankan sikap ego sektoral. Kita masih menganggap diri kita sendiri yang hebat, kita masih mengganggap diri kita yang paling berperan, kita belum berfikir untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak jika hendak melakukan sesuatu…..atau malah jangan-jangan “sulitnya” berkoordinasi karena “sesuatu”? Seperti biasa, karena saya merasa “berhutang” kepada si soewoeng , eh.. .si sulung, sebelum ia tidur, saya kembali mengulas dan menceritakan secara rinci apa-apa yang menjadi pertanyaannya tadi, dengan harapan agar di saat dewasa kelak ia bisa menghargai betapa indahnya jalinan koordinasi, dan tak terasa akhirnya kami semua tertidur….

Oucchhh,....koordinasi…, suatu yang mudah diucapkan, tapi sangat sulit untuk diwujudkan… Apa sesungguhnya Koordinasi itu? Mengapa Koordinasi sulit untuk diwujudkan? Gimana tanggapan teman-teman, pernahkah menjumpai masalah dalam berkoordinasi?

Tiada gading yang tak retak…

Kamis, 18 Desember 2008

Penyesalan Tiada Guna !

Lagi hobi nulis ginian...
Semoga berkenan untuk dibaca yah...

PENYESALAN TIADA GUNA !!
Ternyata kau bukan milikku lagi
Ternyata aku harus kehilanganmu selamanya
Takkan ada lagi hatimu untukku
Takkan ada lagi tawa kita
Pahit..
Ternyata aku memang bukan yang terbaik untuk hidupmu
Ternyata aku bukan yang kau harapkan untuk hidup bersamamu selamanya
Terima kasih dulu kau begitu sabar mencintaiku
Pahit..
Semua menjadi berbeda ketika kau jauh dariku


NB: Semua pasti ada hikmahya..

Minggu, 14 Desember 2008

Kita Terjual Oleh Sebuah Formalitas

Beberapa hari yang lalu ketika saya sedang asyik-asyiknya merokok di beranda rumah, tiba-tiba handphone saya berdering, ternyata panggilan tersebut berasal dari seorang teman yang kebetulan bekerja sebagai Branch Manager (BM) sebuah hotel terbesar di kotaku.

Karena ID penelpon sudah saya kenal dan memiliki hubungan yang cukup baik, maka langsung saya angkat telepon itu, dan terjadi percakapan yang cukup panjang, dan inilah beberapa “kutipan” dari pembicaraan kami tersebut :
BM : Selamat sore dan Assalaamu ‘alaikum Pak..
Saya : Ya, selamat sore... Wa ‘alaikum salam mas, apa kabar nih..?
BM : Alhamdulillah baik-baik saja Pak…
Saya : “Oooh...syukurlah....kira-kira ada apa nih mas”? tanyaku.
BM : Iya...begini pak,...maaf sebelumnya, ada hal yang akan saya sampaikan, tapi jangan sampai Bapak merasa tersinggung, karena saya akan menyampaikan informasi yang sangat penting...
Saya : Silahkan mas, tidak apa-apa kok, asal untuk kebaikan kita bersama.
BM : Maaf pak, Saya tadi menerima telepon dari seseorang (08**60******/pra bayar) yang mengaku-ngaku sebagai bapak. Ia (bapak) mengaku menerima tamu dari “Bawah Pusat”, dan meminta saya untuk turut membantu biaya untuk kembali ke “Bawah Pusat”, dengan mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya...! Karena saya curiga terhadap suaranya yang tidak mirip dengan suara bapak dan tidak menggunakan nomor hp yang biasa bapak gunakan, maka saya langsung menjawab bahwa saya belum punya “rejeki”... (singkat cerita…) Lantas diapun menjawab, okelah kalau Bapak tidak mau berpartisipasi ...(dengan nada mengancam dan sok jagoan!)..
Saya : Terus bagaimana mas?
BM : Itulah sebabnya saya langsung konfirmasi kepada Bapak..

Singkatnya …(supaya gak makan bandwidth…he..he......), akhirnya saya jelaskan kepada sang BM, bahwa selama saya bertugas, tidak pernah melakukan hal sepicik itu. Tak luput sayapun mengucapkan terima kasih kepada sang BM yang telah melakukan konfirmasi kepada saya. Dibalik ucapan terima kasih itu, saya tetap dibayang-bayangi dengan perasaan khawatir, karena tidak menutup kemungkinan nama saya “dijual” pada beberapa korban lain, yang bermuara pada menurunnya kepercayaan dan kredibilitas saya! Ce ileh…..macam bettuull azaa….

Atas informasi tersebut, saya segera mendatangi kantor provider dari telepon selular itu. Dan diterima oleh seorang costumer service (cs) yang manissmpe jadi lupa sama yang dirumah…kwkwkwk..Namun jawaban yang saya terima SANGAT TIDAK MEMUASKAN!. Dengan berbagai alasan, mereka menyatakan tidak sanggup “mengejar” keberadaan pelaku. Lhhoo..jadi untuk apa gunanya registrasi?? Sehingga saya berpikiran apriori kepada mereka. Sementara jika kita membeli kartu perdana sellular pra bayar, kepada kita dipersyaratkan untuk melakukan registrasi, dan jujur saja kita bisa ASAL-ASALAN mengisi registrasi tersebut, (hal ini diakui oleh pihak provider telepon selular, melalui mbak cs yang manis tadi....)!

Sebagai orang awam, saya berpikiran bahwa registrasi pada dasarnya dibuat dengan tujuan agar data para pengguna kartu sellular pra bayar dapat disimpan dalam database mereka, dapat diketahui identitas diri pengguna, sehingga (paling tidak) dapat mencegah dan meminimalisir tindakan-tindakan negatif yang mungkin saja timbul seperti teror via telepon maupun modus penipuan-penipuan seperti yang “melibat-libatkan” saya.

Nah….kalau mau buat aturan, yah buat aja yang sebenarnya, tapi kalau memang kita “maklum” dengan registrasi yang asal-asalan tersebut, lebih baik hapuskan sajalah kebijakan itu, kalau toh semua itu hanya untuk memenuhi syarat legitimasi atau sebuah FORMALITAS yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Negeri kita ini memang adalah sebuah negeri formalitas, banyak hal-hal lain yang berkaitan dengan formalitas itu dalam berbagai elemen kehidupan, mulai dari berbagai acara-acara ceremonial yang tidak “prinsip” justru diagung-agungkan dan mengeluarkan budget yang besar (nota bene merupakan hasil dari kumpulan pajak dan retribusi masyarakat), hingga kebijakan-kebijakan formalitas lainnya yang hanya untuk meninabobokkan masyarakat.

Atas kisah yang saya alami diatas? Bagaimana pendapat teman-teman? Adakah kisah-kisah formalitas lain yang teman-teman alami?

Tiada gading yang tak retak ....



Jumat, 12 Desember 2008

Menghadapi UAS

Di saat-saat ujian akhir semester diadakan, muncul dalam benakku untuk segera dan segera menuliskan postingan ini, bukan untuk belajar,hehehe....

malam yang pekat,
tiada lagi kuacuhkan
dingin yang semakin menusuk tulangku
tiada lagi kuhiraukan

tubuhku terdiam dalam beku khayal..

Malam semakin pekat
tetap tiada secercah cahaya rembulan
hanya awan hitam
dan gemuruh bergantian bersahutan..

tubuhku masih tetap terdiam dalam beku khayal

apa yang kupikirkan sekarang haruskah kulanjutkan??
apakah pantas dia masih selalu ku kenang..

Selasa, 09 Desember 2008

Ban Bocor !

Bagi pemilik dan pengguna kendaraan di Indonesia dan mungkin juga di seluruh dunia tentu sudah sangat memahami apa yang saya maksudkan dengan judul postingan ini. Kebocoran ban merupakan hal yang bisa dan biasa terjadi pada hampir semua alat-alat transportasi, mulai dari sepeda, sepeda motor, mobil, hingga pesawat terbang, dan tentunya dengan pengecualian seperti kereta api, kapal laut (minus hovercraft), kapal selam dll...he..he..

Jika kebocoran ban ini menimpa kita, tentu kita akan merasa sangat tidak nyaman dan terganggu, apalagi bila kebocoran ban terjadi pada saat kita sedang jalan-jalan sore dengan keluarga atawa kekasih, atau bahkan sedang dalam perjalanan keluar kota dan tiba-tiba meletus balon hijau ban bocor ditempat yang sunyi…duarrr...semoga deh, jangan terjadi pada kita semua.

Saya saat ini tidak bermaksud untuk mempromosikan suatu produk kepada teman-teman, karena belum ada kontrak antara saya dengan pabrikan ban (*btw klo ada yang mau nawarin kontrak, boleh juga tuuuhh..). Saya juga bukanlah tukang tambal ban….., ataupun bekerja di bidang yang terkait dengan perbengkelan. Apalagi Superstar bak senandungnya Project Pop... Saya adalah orang biasa yang merasa khawatir dengan beberapa kebijakan pemerintah akhir-akhir ini, yang cenderung untuk “mensentralisasikan” kebijakan. Diantara sekian banyak kebijakan yang “terpaksa” diambil, saya contohkan adalah kisah seputar selebritis...eh…kisah seputar ban.

Yang saya ketahui, bahwa ban pada prinsipnya terdiri dari dua jenis, satu ban angin/tube type (tanpa ban dalam) dan satu lagi ban tubeless. Apabila ban bocor, sudah pasti tentu namanya tetap bocor. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara, teknik atau metode yang harus kita lakukan untuk menambal kebocoran itu? Apakah ban tube kalau bocor bisa diselesaikan dengan cara layaknya menambal ban tubeless? Atau apakah ban tubeless yang bocor bisa ditambal sebagaimana menambal ban tube?

Nah, dari cerita diatas, bila kasus tambal ban yang bocor dianalogikan dengan strategi peningkatan perekonomian masyarakat atau penanggulangan suatu masalah sosial, maka menurut hemat saya Pemerintah harus berfikir dan bertindak ibarat "seorang tukang tambal ban". Pemerintah seharusnya melakukan kajian secara cermat dan tepat (tidak hanya kutak katik dari belakang meja) ataupun "menggeneralisasikan" kebijakan. Tidaklah mungkin tipe, proses dan dimensi kemiskinan pada masyarakat petani sama dengan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan? Tidak mungkin sama strategi untuk meningkatkan perekonomian petani dan nelayan? Wong sudah jelas petani memegang cangkul, sementara nelayan memegang jala atau kail!

Terkait dengan hal diatas, dan untuk mendapatkan suatu "garis merah" yang jelas, antara masalah dengan solusi, disinilah seharusnya diperlukan optimalisasi peran lembaga penelitian yang ada, seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) dan Badan Sertifikasi Nasional (BSN). Setelah itu Pemerintah mengambil kebijakan berdasarkan elaborasi antara berbagai indikator termasuk hasil penelitian itu. Sehingga diharapkan output penelitian dapat bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Kaitannya dengan penelitian, saya tertarik dengan artikel yang dimuat pada majalah Tempo edisi 1-7 Desember 2008, dimana ada seorang staf perencanaan PLN Wilayah Sumatera Barat atas nama Zamrisyaf yang berhasil menemukan pemanfaatan energi listrik dari gelombang laut. Ia merancang Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sistem Bandulan/ponton, yang ternyata belum mendapat “sambutan yang berarti” dengan alasan PLN tidak memiliki pos pengeluaran untuk mendanai temuan itu. Padahal jika Pemerintah mau "sedikit berkorban", sesungguhnya hal ini merupakan temuan yang luar biasa. Kita mengetahui bahwa Indonesia adalah termasuk salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Bila diaplikasikan10 % saja dari total 81 juta kilometer panjang pantai Indonesia, untuk pembangkit listrik ini, kurang lebih akan menghasilkan 16 gigawatt, (asumsi 20 kb/ponton) berarti akan sangat banyak efesiensi Sumber Daya Alam Indonesia, so pasti tidak ada lagi pemadaman listrik bergilir....(*Saya hanya mampu mengangguk angguk dan bertanya dalam hati*..) Mengapa giliran blue energi dan supertoy termasuk sextoys Pemerintah kok cepat “meresponnya” ya?

Di negara-negara maju, keberadaan lembaga riset sangatlah "penting dan elit”, bahkan sebagian besar kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah mereka adalah berdasarkan tindaklanjut hasil riset yang berkualitas, itupun masih juga terkadang menemui deviasi, konon lagi jika pengambilan kebijakan tidak didasarkan/jarang memanfaatkan hasil penelitian? Tentu akan lebih amburadul lagi. Ironis memang, kita tidak pernah berfikir untuk mengoptimalkan lembaga riset, bahkan JK beranggapan Lembaga riset kini hanya dijadikan sebagai museum….

Apa pendapat teman-teman tentang “ban bocor” dan keberadaan lembaga riset?

Tiada gading yang tak retak…

Sabtu, 06 Desember 2008

kehidupan di luar bumi..


Sungguh takkan penah terbayangkan oleh saya apa yang sedang terjadi di luar planet bumi ini.Selama satu harian browsing, akhirnya jemari saya tidak kuasa untuk segera menulis di blogger ini.Beberapa jurnal astronomi yang telah saya baca sungguh-sungguh sangat menggugah nurani saya.
Diri ini terasa amat sangat kecil dan tidak ada apa-apanya.Pikiran dan kemampuan yang memiliki keterbatasan. Tidak ada kata lain,kita sebagai manusia mesti senantiasa bersyukur kepada sang Khalik,ALLAH Swt yang MAHA segalanya.
Banyak fenomena yang telah terjadi di luar bumi kita yang mungkin tidak semuanya kita ketahui.Apakah anda mengetahui banyak benda2 di luar planet bumi ini yang lenih besar daripada planet JUPITER?Menurut saya pribadi penelitian-penelitian yang dilakukan oleh astronom sangatlah membantu umat manusia untuk mengetahui hal-hal tersebut.
Satu pertanyaan lagi yang ingin saya berikan kepada rekan-rekan,tahukah berapa jumlah planet yang masuk dalam tata surya kita??
Beberapa orang mungkin menganggap astronomi bukanlah hal penting.tapi setelah rekan-rekan membaca postingan ini mulailah untuk segera membuka cakrawala berpikir yang tidak terkekang pada satu bidang atau 2 bidang saja.Mari kita sama-sama untuk belajar menjadi manusia yang punya rasa ingin tahu yang besar untuk segala hal yang positif.
Percaya tidak percaya atas penelitian yang dilakukan oleh para astronom,saya kembalikan kepada rekan-rekan,berikut ini merupakan satu situs yang isinya berkaitan dengan artikel postingan ini
*http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/02/0540386/sebuah.planet.asing.dekati.kiamat

(terima kasih buat kompas.com)

Jumat, 05 Desember 2008

Rumah Kita Semakin Sempit!

Sejak bergulirnya era repotnasi reformasi yang kemudian disusul dengan penitikberatan otonomi daerah pada Kabupaten/Kota hingga saat ini saya merasakan Indonesia semakin sesak…..semakin sempit. Hal ini bukan karena saya tidak sepakat dengan pelaksanaan reformasi ataupun otonomi daerah, saya sangat sependapat, tetapi disayangkan masih banyak kalangan yang tidak memandang secara makro makna dari "reformasi dan otonomi daerah" itu.

Di berbagai media baik cetak maupun elektronika terbaca, terdengar dan tergaung jargon-jargon politik dari calon-calon “politikus” yang mengatasnamakan dirinya sebagai orang yang paling tidak pantas memimpin dan dipilih, dengan statemennya : “saya adalah PUTRA ASLI DAERAH. Saya dilahirkan didaerah ini, Saya dibesarkan di daerah ini !” Sangat jarang diantara mereka yang pernah berucap : Saya telah berbuat didaerah ini, Saya akan selalu komit terhadap pembangunan dan kemajuan daerah ini dll…!

Padahal sewaktu saya dulu sekolah, sejak taman kanak-kanak hingga ke jenjang pendidikan terakhir, selalu diberikan wejangan dari ortu, guru atawa dosen tentang nasionalisme. Bahwa Indonesia adalah NKRI. Bhinneka Tunggal Ika. Tidak bisa ditawar-tawar dan merupakan harga mati!

Maaf teman-teman…..saya memang bukan ahli politik, apalagi ahli strategi. Saya hanya manusia biasa yang tak mungkin terlepas dari kesalahan. Saya sangat prihatin, hati saya terasa teriris oleh sembilu Saya merasakan kesedihan yang luar biasa mendengar “pendikotomian” ini…hiks…(*pura-puranya meneteskan air mata…)…

Terus terang teman, saya hingga saat ini belum tahu, apa pengertian atau definisi Putra Asli Daerah (PAD) itu……….

Apakah orang yang terlahir disuatu daerah, kemudian dalam usia 1 hari meninggalkan tanah kelahirannya menuju daerah lain dan baru kembali ke tanah kelahirannya setelah mendaftar menjadi politikus? Atau orang yang lahir di daerah lain, kemudian sejak usia 1 hari tiba didaerah kita hingga dewasa tetap di daerah kita, hingga tiba waktunya ia mendaftarkan diri sebagai balon politikus? ….

Entahlah, yang jelas pemikiran PAD secara sempit benar-benar telah tertanam di sebagian besar masyarakat kita. Kasihan dan ironis tentunya. Karena “kepentingan sesaat” pikiran mereka telah terkontaminasi. Seharusnya, di era demokratisasi seperti ini kita memberikan pencerahan dan pendidikan politik bukan justru “menggelapkan”.

Kemudian saya merenung, apakah tidak boleh orang madura jualan sate di tanah batak?. Apakah tidak boleh orang batak mencari rezeki di tangerang? Apakah tidak boleh orang palembang berjualan pempek di Bandung? Apakah harus kita tutup rumah makan minang yang ada disebelah rumah kita? Lalu bagaimana dengan teman-teman kita di luar negeri?

Saya teringat statemen perkenalan dengan mantan “komandanku” Mayjen CPM (purn) IGK Manila : Saya adalah Putra Asli Indonesia, tetapi kelahiran Bali. Sungguh bukan pengkotak-kotakan! Kalau memang sudah tidak boleh lagi kita mencari sesuap nasi di “tanah rantau” dan hanya boleh mengais rezeki di “kampung sendiri”…itulah kepicikan kita. Itulah kemunduran kita…Kita terjerumus dalam pemikiran PRIMORDIALISME dan NASIONALISME yang sempit, dan jika hal ini terus kita pelihara…mudah-mudahan kita tetap akan menjadi katak dalam tempurung!

Untuk membangun daerah dan bangsa dibutuhkan suatu komitmen yang tegas, dibutuhkan konsistensi yang jelas dan terarah, bukan hanya bermodalkan Putra Asli Daerah belaka. Bagaimana menurut teman-teman, "pulang kampung" kita???? Sekalian merayakan IDUL ADHA 1429 H, dan tak lupa Mohon maaf lahir dan bathin…

Tiada gading yang tak retak …

Selasa, 02 Desember 2008

Hari AIDS Sedunia


1 Desember 2008 yang telah kita ketahui bersama sebagai peringatan hari AIDS sedunia ternyata mulai digagas oleh menteri-menteri kesehatan sedunia sejak 1988.Tindak lanjut Perang terhadap AIDS ini saya lihat di berbagai media mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan.Peran aktif LSM dan media yang kian gencar sangatlah diharapkan agar penyebaran penyakit ini tidak meluas.
Sebenarnya mengantisipasi penyakit ini sangatlah gampang,cuma ada dua kuncinya pola hidup bebas tidak pernah kita sentuh dan Perkuat KEIMANAN kita masing-masing sama SANG KHALIK.
Kalau pribadi saya ditanya,AIDS merupakan salah satu ganjaran setimpal terhadap perilaku hidup senang(bebas)yang berlebihan yang telah dilakukan oleh tiap individu.
Di Indonesia sendiri agama dan kepercayaan yang setau saya cukup baik tetap saja ada individu yang terjangkit penyakit ini dan meningkat tiap tahunnya,sungguh sangat disayangkan.Padahal sudah jelas-jelas semua perilaku hidup tersebut dilarang.
Untuk itu Tidak ada salahnya untuk kita yang sudah paham akan hal ini untuk terus saling mengingatkan orang-orang disekitar kita betapa bahayanya efek yang ditimbulkan dari penyakit tersebut,mengingat kelalaian pada manusia itu sifatnya wajar,bila ada keinginan dan kesempatan godaan tersebut akan datang
KLIK INI untuk mendownload info penting lainnya yang berkaitan dengan AIDS.