
Pasal 214 UU Pemilu yang heboh itu adalah :
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP);
b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut;
Kita sesungguhnya patut bersyukur atas sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang “menganulir” pasal 214 ini, karena sudah sangat jelas hal ini sangat tidak demokratis dan tidak adil. Sangat jelas terlihat bagaimana "permainan” di tubuh suatu parpol. Caleg yang “dekat” dengan pimpinan parpol cenderung untuk memiliki “nomor pasti”, sementara caleg-caleg nomor "bush dilempar sepatu" yang lain harus berjuang ekstra keras untuk mencapai angka BPP, jika tidak tercapai, alhasil suara “tersedot” ke “nomor pasti” tadi. Caleg “tak pasti” lelah dan kalah, sementara caleg yang memiliki “nomor pasti” hanya tersenyum sumringah ibarat lintah yang kenyang setelah menghisap darah korbannya.
Wacana untuk menghempang sistem terbuka terbatas (sebelum dikabulkannya sebagian permohonan uji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008) sesungguhnya sudah pernah dilakukan, yaitu oleh Partai Amanat Nasional (PAN), namun ditolak oleh fraksi-fraksi lain di DPR. Kondisi ini kemudian memaksa PAN untuk membuat kebijakan sistem proporsional terbuka murni secara intern (walaupun tidak dapat mempengaruhi ketentuan yang telah ditetapkan). Atas diberlakukannya kebijakan intern pada tubuh PAN, alhasil banyak juga partai-partai Politik yang latah dan mengikuti jejak petualang PAN.
Menurut MK, ketentuan Pasal 214 UU a quo adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan jelas merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Dilihat dari dimensi keadilan dalam pembangunan politik, pada saat ini Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden, DPD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga menjadi adil pula jika pemilihan anggota DPR atau DPRD juga bersifat langsung memilih orang tanpa mengurangi hak-hak politik partai politik, sehingga setiap calon anggota legislatif dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing. Selain itu, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.
Untuk itu, bagi teman-teman yang ingin mengabdikan dirinya sebagai wakil rakyat, kami hanya bisa menghimbau dan memberi semangat ..... teruslah berjuang. Raih simpati dan berikan empati. Jangan racuni kami dengan "materi". Didik dan ajarilah kami, sehingga kami dapat berpolitik dengan cerdas dan santun. Tunjukkan program dan kegiatan yang benar-benar tepat dengan tetap menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Bawakanlah aspirasi kami, bukan hanya aspirasi "kendaraan roda empat" saudara, untuk menuju bangsa yang benar-benar "merdeka dan berdaulat". Kami gantungkan harapan kami kepada anda sekalian...wahai wakil rakyat...
Saya teringat dengan bait lagu mas Iwan Fals : Wakil rakyat kumpulan orang hebat, bukan kumpulan orang-orang dekat apalagi sanak famili.. Wakil rakyat dipilih bukan di lotere, meski kami tak kenal siapa saudara...
Adakah teman-teman yang ingin jadi wakil rakyat? Masih percayakah teman-teman dengan wakil rakyat? Mencontreng atawa golput???
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP);
b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut;
Kita sesungguhnya patut bersyukur atas sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang “menganulir” pasal 214 ini, karena sudah sangat jelas hal ini sangat tidak demokratis dan tidak adil. Sangat jelas terlihat bagaimana "permainan” di tubuh suatu parpol. Caleg yang “dekat” dengan pimpinan parpol cenderung untuk memiliki “nomor pasti”, sementara caleg-caleg nomor "bush dilempar sepatu" yang lain harus berjuang ekstra keras untuk mencapai angka BPP, jika tidak tercapai, alhasil suara “tersedot” ke “nomor pasti” tadi. Caleg “tak pasti” lelah dan kalah, sementara caleg yang memiliki “nomor pasti” hanya tersenyum sumringah ibarat lintah yang kenyang setelah menghisap darah korbannya.
Wacana untuk menghempang sistem terbuka terbatas (sebelum dikabulkannya sebagian permohonan uji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008) sesungguhnya sudah pernah dilakukan, yaitu oleh Partai Amanat Nasional (PAN), namun ditolak oleh fraksi-fraksi lain di DPR. Kondisi ini kemudian memaksa PAN untuk membuat kebijakan sistem proporsional terbuka murni secara intern (walaupun tidak dapat mempengaruhi ketentuan yang telah ditetapkan). Atas diberlakukannya kebijakan intern pada tubuh PAN, alhasil banyak juga partai-partai Politik yang latah dan mengikuti jejak petualang PAN.
Menurut MK, ketentuan Pasal 214 UU a quo adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan jelas merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Dilihat dari dimensi keadilan dalam pembangunan politik, pada saat ini Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden, DPD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga menjadi adil pula jika pemilihan anggota DPR atau DPRD juga bersifat langsung memilih orang tanpa mengurangi hak-hak politik partai politik, sehingga setiap calon anggota legislatif dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing. Selain itu, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.
Untuk itu, bagi teman-teman yang ingin mengabdikan dirinya sebagai wakil rakyat, kami hanya bisa menghimbau dan memberi semangat ..... teruslah berjuang. Raih simpati dan berikan empati. Jangan racuni kami dengan "materi". Didik dan ajarilah kami, sehingga kami dapat berpolitik dengan cerdas dan santun. Tunjukkan program dan kegiatan yang benar-benar tepat dengan tetap menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Bawakanlah aspirasi kami, bukan hanya aspirasi "kendaraan roda empat" saudara, untuk menuju bangsa yang benar-benar "merdeka dan berdaulat". Kami gantungkan harapan kami kepada anda sekalian...wahai wakil rakyat...
Saya teringat dengan bait lagu mas Iwan Fals : Wakil rakyat kumpulan orang hebat, bukan kumpulan orang-orang dekat apalagi sanak famili.. Wakil rakyat dipilih bukan di lotere, meski kami tak kenal siapa saudara...
Adakah teman-teman yang ingin jadi wakil rakyat? Masih percayakah teman-teman dengan wakil rakyat? Mencontreng atawa golput???
Tiada gading yang tak retak...