Dengan dalih untuk menjaga dan melindungi rakyat miskin, pada hari Sabtu, 24 Mei 2008, Pemerintah kembali menggulirkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap pertama 2008 bagi sedikitnya 844.30 Rumah Tangga Miskin (RTM) yang berada di 10 Ibukota Propinsi di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Banjarmasin, Kupang dan Makassar), dari total sekitar 19,1 juta RTM di indonesia dengan total anggaran Rp. 14 trilyun, hal ini dilakukan menyusul kebijakan kenaikan harga BBM yang berlaku sejak tanggal 24 mei 2008.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)memang merupakan kebijakan ”simalakama”, tidak naik Negara akan mengalami kesulitan dan jikalau naik maka rakyat (khususnya rakyat miskin) akan lebih kesulitan lagi. Sehubungan dengan hal itu Wakil Presiden RI JK menyatakan, apabila Pemerintah tidak menaikkan harga BBM, maka dengan tingginya harga minyak mentah dunia yang mencapai angka $ US 132/Barrel, mengakibatkan beban/defisit bagi APBN 2008, atau dengan kata lain, Pemerintah harus terpaksa mensubsidi harga minyak sebesar 280 trilyun rupiah.
Memang, statemen dari orang nomor 2 di Republik ini ada benarnya, namun jika kita sejenak berfikir mundur kebelakang, justru hal ini sangat menggelikan. Negara Indonesia yang merupakan salah satu Negara produsen minyak, tidak lagi mempunyai kekuatan yang cukup kuat dalam hal penentuan harga minyak dunia. Hal ini bisa terjadi karena keterbatasan kemampuan untuk mengolah minyak mentah hasil produksi sendiri. Yang lebih ironis adalah mengapa kita harus “merelakan” sumber sumber minyak mentah kita dikuasai oleh pihak asing (ingat kasus Blok Cepu dan lain-lain)? Akibatnya kita kehilangan kemampuan untuk menentukan harga jual minyak di Pasar Internasional (walaupun Kontrak Kerja Sama yang dicantumkan dalam UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, namun kenyataannya, Negara tetap dirugikan…
Wiwik Suhartiningsih, seorang pengamat masalah sosial ekonomi, menyatakan bahwa meneruskan subsidi yang melenceng hanya akan memperlebar disparitas pendapatan. Mencabut subsidi tak kalah peliknya apalagi dengan jumlah penduduk miskin Indonesia yang sangat besar. Apa jadinya jika pencabutan subsidi BBM itu tidak diantisipasi dampaknya pada penduduk miskin? Pemerintah akan dihujat dan demonstrasi meledak di mana-mana. Mempertahankan subsidi tanpa koreksi dan sebaliknya mencabut subsidi tanpa antisipasi, dampaknya adalah sama buruknya. Mengurangi subsidi BBM dengan berbagai koreksi adalah pilihan rasional.
Tetapi sekarang, yang menjadi permasalahan adalah apakah kebijakan menaikkan harga BBM adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan defisit APBN? Apakah dengan digulirkannya BLT yang ”hanya” sebesar Rp. 100 ribu/Bulan/KK sudah merupakan solusi/kebijakan yang terbaik? Apakah Pemerintah tidak memperhitungkan ekses dari kenaikan harga BBM? Ongkos transportasi, ongkos produksi, harga sembilan bahan pokok dan lain-lain pasti akan meningkat? Apakah dengan peningkatan berbagai varian itu dapat di atasi dengan BLT? Apakah dengan perguliran dana BLT itu akan meningkatkan daya beli masyarakat miskin? Kebetulan, penulis pernah ”share” dengan warga masyarakat miskin, yang di inginkan oleh mereka sesungguhnya bukanlah BLT, karena BLT bukan merupakan solusi bagi penanggulangan kemiskinan mereka, permintaan mereka sangat sederhana, cukuplah Pemerintah memikirkan bagaimana cara untuk menekan berbagai kenaikan harga. Jangan-jangan justru kebijakan itu akan membuat warga masyarakat kita ”bangga” menjadi orang miskin?
Meminjam istilah yang pernah dilansir oleh Media Indonesia, kebanggaan menjadi orang miskin itu didorong oleh program Subsidi Langsung Tunai yang diberikan Pemerintah sebagai kompensasi kenaikkan harga bahan bakar minyak. Jutaan masyarakat terdaftar sebagai orang miskin sehingga berhak mendapat subsidi tersebut. Tragisnya, bahkan karena alasan tidak memasukkan daftar nama warga kedalam penerima BLT, ada warga yang membunuh pamong setempat, Kantor-kantor Instansi Pemerintah dibakar, bahkan banyak kasus yang menunjukkan distorsi pada level aparat pelaksana di lapangan, ada yang tidak siap dengan program ini, maupun oknum-oknum aparat yang mengambil kesempatan untuk meminta upeti kepada RTM penerima BLT karena merasa telah ”berjasa” mendaftarkan RTM sebagai calon penerima BLT, dan banyak kasus lainnya.
Tiba-tiba kemiskinan begeser menjadi fakta sosial yang membanggakan. Kebanggaan menjadi orang miskin tersebut kini kian meningkat. Hal itu tampak dari data Badan Pusat Statistik. Jika jumlah masyarakat yang memegang kartu miskin pada tahun 2005 sebanyak 5,5 juta KK, angka tersebut meningkat menjadi delapan juta KK pada tahun 2006, dan semakin meningkat menjadi 19,1 juta KK di tahun 2008. Artinya, sejak tahun 2005 (pengguliran perdana SLT yang kemudian ganti ”kulit” menjadi BLT) hingga tahun 2008 telah terjadi peningkatan yang sangat signifikan, yaitu mencapai 13,6 juta KK !!!
Nampak jelas, Pemerintah terlihat gagap dan kalut, atau bisa jadi kebijakan ini hanya semata-mata pengalihan isu/pembungkam sesaat gejolak masyarakat yang mungkin timbul. Dengan memberikan BLT, Pemerintah telah menciptakan prestasi yang ”luar biasa” dengan mencetak lapangan pekerjaan baru kepada masyarakat yaitu ”Pengemis Musiman”. Di sisi lain juga telah menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap Pemerintah. Secara periodik masyarakat menunggu BLT tersebut, karena merasa bagian dari haknya. Malah, ada yang ”menggadaikan” Kartu Miskin demi memperoleh uang dalam waktu dekat. Setelah sekian lama berjalan, Pemerintah mestinya menyadari bahwa cara-cara memberi BLT tersebut benar-benar tidak mendidik. Dana tersebut bukannya digunakan untuk hal-hal yang produktif, tapi untuk hal-hal konsumtif. Malah ada yang menggunakannya untuk kebutuhan-kebutuhan yang ”kurang logis” seperti membeli handphone 2nd, mini compo, vcd/cvd player dll.
Seharusnya pada saat ini Pemerintah dapat berfikir jernih, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal tulisan, bahwa hanya dalam kurun waktu 4 tahun telah terjadi pembengkakan yang sangat luar biasa pada jumlah KK miskin, berarti hal ini menunjukkan Pemerintah telah gagal menanggulangi kemiskinan masyarakat, apa artinya program-program pengentasan kemiskinan yg selama ini sudah dilakukan kalau toh tetap juga terjadi peningkatan angka kemiskinan, mungkin lebih cocok negara kita disebut dengan Retorika Indonesia, bukan Republik Indonesia.
Kemandirian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat kembali diuji, mengapa demikian, karena jelas, bahwa sesungguhnya penghapusan subsidi BBM adalah bukanlah murni merupakan ”hasil pemikiran kita”. Pidato Presiden SBY dalam rangka menyambut Kebangkitan 100 tahun Bangsa Indonesia yang memuat 3 hal pokok, yang salah satunya adalah meningkatkan Kemandirian Bangsa adalah hanya lips service belaka, betapa tidak kebijakan penghapusan subsidi BBM ternyata merupakan ”amanat dari liberalisasi sektor migas” sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dimana secara implisit terdapat tentang Penghapusan Subsidi BBM dan Pelepasan Harga BBM ke Mekanisme Pasar.
Menurut pengamat ekonomi Revrisond Baswir, Liberalisasi Sektor Migas itu justru berdampak pada semakin beratnya beban hidup rakyat atau bahkan meningkatkan ancaman terhadap Ketahanan Ekonomi Nasional. Secara konstitusional, pelaksanaan beberapa agenda Liberalisasi Sektor Migas itu jelas bertentangan dengan amanat Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945. Ayat (2) berbunyi, Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sementara ayat (3) berbunyi, Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat...nah !!!
Untuk mengakhiri polemik ini sebenarnya Pemerintah bisa menggunakan cara-cara lain seperti yang digunakan oleh negara-negara maju, seperti halnya Sistem Jaminan Sosial. Sistem Jaminan Sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan sosial, juga menjadi komponen penting dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan melalui bantuan terhadap kelompok miskin dan kelompok rawan. Jaminan sosial menjadi penting terutama agar kelompok miskin dan rawan mampu mengatasi risiko terhadap berbagai kerawanan sosial dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Itulah sebabnya, Jaminan Sosial kini telah berkembang dari belas kasihan (charity) menjadi sebagai salah satu hak asasi warga.
Selain itu, pengamat ekonomi ternama, Aviliani berpendapat bahwa untuk mengatasi beban pemerintah terhadap subsidi BBM, Menko Perekonomian dapat melakukan berbagai hal, antara lain dengan peningkatan pajak secara adil, misalnya menaikkan pajak pada kendaraan pribadi, sehingga secara psikologis kenaikan harga dapat dikendalikan dan alangkah baiknya jika pemerintah setiap tahun dapat memberikan kebijakan di bidang ekonomi yang lebih fokus sehingga pencapaian indikator keberhasilan di bidang ekonomi dapat dinilai dan dinikmati rakyat. Dan sejalan dengan pendapat itu, Sosiolog Universitas Indonesia Prof Dr. Paulus Wirutomo berkomentar bahwa, dana kompensasi seperti itu tidak tepat. Bukan hanya karena kriteria yang tidak tepat, tetapi program tersebut juga tidak ampuh meredam gejolak akibat kenaikan harga BBM. Sebab, yang diperlukan dan harus dilakukan pemerintah adalah memberikan jaminan keamanan, ketenteraman, dan kenyamanan berusaha bagi rakyat. Juga penyediaan lapangan kerja bagi mereka. Bukan sekadar dana karitatif yang ia sebut sebagai artifisial.
Untuk itu, kompensasi yang akan diberikan pada masyarakat miskin harus dapat diarahkan pada hal yang penting dan benar benar sampai ke masyarakat miskin tersebut. Menurut Wijaya Adi, seorang peneliti dari LIPI Rasionalitas arah kompensasi tersebut haruslah :
a. Kompensasi diarahkan pada bentuk yang memberikan manfaat ke masa depan dan bersifat produktif, walaupun dalam hal khusus yang bersifat konsumtif masih dapat diterima.
b. Program pembangunan yang mendesak untuk dilaksanakan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena itu, maka tidak perlulah Pemerintah menjadi Robinhood dengan BLT, Robinhood yang sejati adalah bagaimana cara merecovery dana BLBI yang telah ”hilang”, menuntaskan kasus illegal fishing, illegal logging dan white collar crime lain, ITU BARU JANTAN !!!...... Nyante aza lae..............
Tiada gading yang tak retak .....
NB : Tulisan ini telah dimuat di Harian Metro Tapanuli, Edisi 27 dan 28 Mei 2008, halaman 4. Mohon maklum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar