
Permasalahan yang saat ini dialami oleh Polan adalah bahwa sudah lebih dari empat bulan berselang, sang pengontrak belum bersedia meninggalkan rumah tersebut, dengan berbagai alasan, antara lain sulitnya mencari tempat tinggal di pinggiran kota apalagi di bawah pusat kota yang semakin lama semakin padat dengan gedung-gedung. Sementara si Polan sudah meniru-niru Australia dengan memberikan "travel warning" di saat tiga bulan sebelum habis masa kontrak bahwa ia tidak akan memperpanjang kembali kontrak rumah tersebut kepada siapapun, karena akan dipergunakan oleh salah seorang anggota keluarga mereka yang notabene masih “terkatung-katung”.
Ironis memang, kondisi sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Si Polan yang nota bene pemilik rumah justru menjadi pihak yang “lemah”. Dia harus “mengemis” dan mengorbankan kemaluannya perasaannya karena berhadapan dengan si pengontrak yang tidak tertib, hingga akhirnya saya diminta memberikan pandangan kepada si Polan bahwa, apapun ceritanya, isi perjanjian sewa menyewa / kontrak rumah yang telah dibuat harus ditaati, karena itu adalah wujud dari kesepakatan yang telah dibuat antara pemilik dan sang pengontrak. Bila upaya persuasive dan kekeluargaan gagal, mau tidak mau harus ditempuh melalui jalur hukum yang tegas untuk menghindari preseden buruk di kemudian hari.
Daripada nanti saya dituduh sok-sokan sebagai advisor, lebih baik kita tinggalkan dulu kisah teman saya itu…..Kisah ini ternyata mengingatkan saya kepada trend yang marak beredar akhir-akhir ini, dimana banyak pihak yang akan mencoba memasuki alam mimpi politik praktis terlebih dahulu diminta untuk menandatangani semacam kontrak politik. Hal ini dilakukan karena para konstituen khawatir, bahwa “si pemain politik” kelak pasti tidak konsisten dengan apa-apa yang telah disampaikan pada saat masa “tebar janji dan pesona”.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia miliknya WJS Poerwadarminta, kontrak memiliki pengertian sebagai perjanjian, mengadakan ikatan perjanjian. Sementara politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan suatu Negara atau terhadap Negara lain. Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Berarti kontrak politik adalah....., silahkan teman-teman mendifinisikannya karena saya sedang nggak mood dan bukan pakar politik apalagi pakar pangan.
Hal yang menggelitik adalah bahwa jika “si pemain politik” terpilih, tentu ia kan menghadapi serangkaian proses yang panjang hingga masa pelantikannya. Pada saat kalau dilantik, mereka akan mengucapkan seruan sumpah atau janji dihadapan hadirin… Nah..masalahnya adalah yang jelas-jelas saja telah diucapkan pada saat pelantikan masih belum dapat diwujudkan secara konsisten dan optimal atau bahkan melenceng, apalagi hanya sekedar sebuah kontrak picisan politik. Selain itu kesulitan mendasar dari penerapan Kontrak politik tersebut adalah jika visi yang mereka ajukan tidak dapat diwujudkan dalam APBN/APBD (karena melibatkan banyak pihak yang belum tentu memiliki ide yang sama), apa yang akan terjadi?
Sebagai mantan kyai pribadi, saya menilai belum melihat konsistensi yang signifikan antara penandatangan, perwujudan dan pertanggungjawaban isi kontrak politik. Tidak apriori malah saya berfikir jangan-jangan kontrak politik itu akan bernasib sama dengan si Polan, karena hal ini berada di luar "sistem". Kontrak politik hanya ibarat keputusan intern beberapa parpol yang mencoba menerapkan ketentuan suara terbanyak sebagai anggota legislatif pada pemilu, pada saat sebelum Mahkamah Konstitusi "menganulir" ketentuan nomor sepatu. Coba seandainya ada seorang "pemain politik" tidak dapat mewujudkan isi kontrak politik itu, apa yang akan terjadi? Lantas apakah dia harus menerima impeachment? Jika dipaksakan...justru menciptakan situasi chaos di negeri kelelawar! Jelas tidak segampang itu, karena untuk melengserkan seseorang dari suatu posisi apalagi lengsernya Presiden Soeharto, tentu ada mekanismenya.
Adakah teman-teman punya masalah dengan kontrak ? Masih perlukah dibuat kontrak-kontrak sebagaimana contoh kasus di atas? Bagaimana cara yang paling efisien untuk mengatasi kasus "ingkar" kontrak? Atau kita sama-sama pake statementnya gus dur....gitu aja kok repot!
Tiada gading yang tak retak ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar