Pada saat awal-awal pergantian tahun seperti saat ini, para designer atau siapapun yang membidangi dunia fashion biasanya jor-joran untuk mengajukan sekaligus memperkenalkan gaya atau trend mode untuk tahun-tahun berikutnya, baik pakaian, rambut, make up hingga accesoris. Mereka menganggap bahwa karya ciptaannyalah yang kelak akan ditiru oleh para penikmat atau bahkan para korban mode.
Mungkin teman-teman masih ingat bagaimana penampilan artis kaliber dunia sekelas Demi moore yang tampil dalam film Ghost, dimana ia telah memperkenalkan model rambut pendek berponinya yang membuat "demam" hampir seluruh kaum wanita penduduk dunia. Yah, memang, yang namanya trend pasti selalu akan menarik untuk dibahas dan dibicarakan. Kalau dinegeri kita, trend-trend seperti ini seakan lebih kompleks, bukan hanya di dunia fashion, tetapi juga memasuki ranah politik. Yaitu antara lain trend pemekaran wilayah Provinsi dan atau Kabupaten. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Derah, kepada daerah dibenarkan untuk membentuk, menghapus dan atau menggabungkan daerah dengan ketentuan yang telah ditetapkan dengan alasan untuk merespon perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.
PP ini sungguh menarik, karena cenderung mengakomodir semangat “ekspansi dan improvisasi” bagi daerah. Namun, selain menarik, PP ini juga “mubazir”. Karena sampai dengan saat ini saya belum pernah mengetahui apakah ada daerah yang bersedia menggabungkan diri! Karena apa? Menurut saya jawaban yang paling logis dan realistis adalah : siapa sih yang dengan sukarela kehilangan “asset dan pundi-pundi” yang selama ini ia miliki? Konon lagi dengan diluncurkannya kebijakan penghapusan daerah....yang tentu akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Saya berfikir, Pemerintah Pusat belum memiliki “power” untuk menghadapi tantangan-tantangan itu. Berkaitan dengan wacana pemekaran daerah otonom, dengan dalih bermacam-macam, mulai dari niat “murni” untuk mewujudkan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, hingga “niat-niat lain” seperti harapan untuk menjadi “pejabat” di daerah baru. Yang ironisnya, tuntutan pemekaran wilayah itu terkesan bukan serta merta tuntutan riil dari masyarakat, tetapi adalah keinginan dari sekelompok kaum elite yang haus dan kelaparan kekuasaan, apalagi jika dikaitkan dengan “bayang-bayang” milyaran rupiah dana Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ”sangat menjanjikan” sekaligus menjadi beban bagi APBN...lherr...siapa yang tidak tertarik...termasuk saya sekalipun...he..he.
Berita yang mengejutkan bagi saya, tetapi tidak sampai membuat saya keringat dingin adalah sampai dengan kondisi tanggal 19 Desember 2008 yang lalu, Rapat Paripurna DPR bersama Pemerintah kembali menyetujui daerah baru hasil pemekaran yaitu Kabupaten Maybrat di Propinsi Papua Barat dan Kabupaten Kepulauan Meranti di Propinsi Riau. Sehingga di dalam tubuh NKRI saat ini total sudah terdapat 33 Propinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota. Melihat trend pemekaran daerah yang sangat marak akhir-akhir ini, kita seharusnya khawatir, jangan sampai ketentuan perundang-undangan yang merupakan hasil keterlibatan Pemerintah dengan calo wakil rakyat kita di lembaga legislatif disalahgunakan hanya untuk kepentingan golongan tertentu. Otonomi daerah seakan membuat kita menjadi terpisah-pisah. KDH seakan menjadi raja-raja kecil. Semangat NKRI menjadi luntur, jika kita salah mengartikan makna dari otonomi daerah.
Walaupun untuk pembentukan daerah Provinsi dan atau Kabupaten/Kota tetap memiliki persyaratan harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan sebagaimana amanat pasal 4 PP Nomor 78 Tahun 2007 itu, namun jika menilik dari isi PP tersebut, masih dimungkinkan celah bagi kita untuk memainkan peran yang subjektif…
Saya bukannya anti dengan semangat otonomi maupun pemekaran daerah, namun saya tidak terima dengan semangat untuk "mengakal-akali" otonomi daerah dan pemekaran daerah yang tidak didasarkan dengan kemampuan dan potensi daerah. Untuk itu seharusnya Pemerintah segera mengambil langkah jitu dan tegas untuk melakukan revisi terhadap ketentuan yang ada, berupa pengetatan aturan teknisnya disertai dengan "political will" dan niat yang sungguh-sungguh, sehingga pemekaran daerah tidak menjadi sekedar "ephoria dan retorika" layaknya repotnasi reformasi.
Lumayan khan... apabila terbentuk satu Propinsi/Kabupaten/Kota baru tentu akan melahirkan “lapangan kerja” baru misalnya sebagai Pimpinan Daerah, anggota DPRD, tentu akan ada recruitment Pegawai Negeri (Sipil, TNI dan Polri) baru, Karyawan BUMN, karyawan BUMD dan lain-lain termasuk apabila, investasi berupa tanah warisan dari leluhur yang kita miliki akan dibeli oleh Pemda untuk keperluan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, seperti pembangunan komplek perkantoran dan sebagainya, tentu kita akan jadi OKB (orang kaya baru) dongg....
Makanya teman-teman, daripada kita capek bisnis-bisnis via internet, pasang iklan, ngejar traffic, ilmu SEO, berburu Alexa dan lain-lain, mendingan kita bikin "daerah baru" yukkkk....he..heh....
Siapa yang mau gabung dengan saya? Silahkan angkat kaki tangan... Buruan karena saya akan segera menyusun "kabinet obama"nya....... Tiada gading yang tak retak...