Minggu, 25 Januari 2009

Lelet ...

Bagi pengguna internet, yang namanya lelet tentu sangat mengganggu. Betapa tidak, selain waktu terbuang, duit juga terbuang (time based), dan yang lebih mengesalkan adalah perasaan, yaitu bete, sebel dan kesel, semua bercampur aduk menjadi satu, kecuali kita tinggal di kawasan Gunung Kelir yang memang sudah terbukti memiliki kecepatan akses luar biasa yang dapat diketahui dari laporan speedtest.

Teman-teman yang memiliki aktifitas sebagai pegawai contohnya baik itu pegawai negeri, karyawan BUMN/D, swasta/wiraswasta tentu sudah pernah merasakan bagaimana rasanya menyelesaikan pekerjaan yang sudah dikejar-kejar anjing deadline. Misalnya pada tanggal lima setiap awal bulan berjalan harus segera melaporkan pelaksanaan tugas, program dan kegiatan bulan sebelumnya, ataupun harus segera mencicil kredit/menagih kredit dan lain-lain. Untuk mengantisipasi hal itu seharusnya sangatlah diperlukan beberapa aspek yang mendukung prinsip manajemen seperti adanya personil yang cukup dan berkualitas, dukungan sarana dan prasarana yang memadai dan dukungan finansial.

Kaitannya dengan hal tersebut, pada akhir tahun 2008 yang lalu, berdasarkan laporan menteri kepada saya jumlah wisatawan asing ke Indonesia pada 2008 mencapai 6,4 juta orang, naik 16,85 persen dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian jumlah ini lebih rendah dari target tahun kunjungan wisata Indonesia 2008 yakni 7 juta turis, berarti target kunjungan wisatawan asing 2008 tak tercapai sementara pada tahun 2009 ini Pemerintah menaikkan target kunjungan wisatawan asing pada tahun 2009 menjadi 8 juta orang, atau naik 15 persen dibandingkan dengan tahun 2008 yang 7 juta orang.

Sebagai warga negara yang baik, tentu saya ingin juga tergerak untuk terlibat secara tidak langsung untuk mempromosikan Indonesia keluar negeri, dengan cara paling tidak memasang logo Visit Indonesia Year 2009 yang bertautan dengan link kementerian kebudayaan dan pariwisata RI sebagaimana yang telah saya lakukan di blog ini pada tahun yang lalu. Namun apa yang terjadi? Setelah saya oprek-oprek website itu, hingga postingan ini naik tayang, saya belum menemukan logo dimaksud, yang ada hanya logo VIY 2008, kalau kita ibaratkan suatu produk, hal ini dapat digolongkan dengan kadaluarsa!!!

Sekarang sudah memasuki akhir bulan Januari 2009, hanya sekedar icon VIY 2009 saja kita belum punya. Apa harus menunggu proses sayembara membuat logo? Dan sangat tidak mungkin kalau saya pintar-pintaran membuat logo VIY 2009 ( karena saya gak ngerti apa-apa tentang sotoshop..). Okelah, dengan alasan efisiensi dengan tanpa menghilangkan makna dari VIY, Bpk Jero Wacik menyatakan logo VIY 2009 adalah tetap menggunakan logo VIY 2008. Yang dimaksud tetap itu bagaimana? Apa hanya sekedar menanggalkan tahun 2008? Atau turut juga menanggalkan kalimat celebrating 100 years of nation's awakening? Harusnya departemen itulah yang duluan memasang icon VIY, karena apapun ceritanya mereka yang berperan sebagai leading sector di bidang kebudayaan dan pariwisata, masa' sih, sampai sekarang website-nya belum di update juga???.

Jika dikaitkan dengan hal yang lebih makro, seperti penyusunan anggaran negara, walaupun katanya APBN 2009 telah disahkan, namun dengan alasan dinamika dan fluktuasi ekonomi dunia, Pemerintah akan merombak total APBN 2009 dan direncanakan Rancangan Perubahan akan diajukan pada bulan Februari yang akan datang. Lho, bukankah ini semuanya harusnya sudah action pada awal Januari? Hal ini menunjukkan kelemahan perencanaan kita.

Sebagai orang awam, saya berandai-andai jika pada bulan Februari 2009 draft perubahan diajukan, digodoklah di DPR kira-kira satu atau dua bulan……., berarti APBN akan efektif dapat berjalan pada bulan Mei 2009. Apa yang terjadi? Berarti selama bulan Januari hingga akhir April 2009, Institusi Pemerintah akan mengalami “kevakuman” kegiatan, akhirnya...giliran di akhir tahun, semua dikerjakan dengan terburu-buru. Kalau dari "server"nya sudah lelet, pasti dong komputer "client" akan lelet juga....

Jadi sangatlah wajar jika banyak target, program dan kegiatan kita yang tidak bisa kita selesaikan secara tepat waktu, kalaupun selesai tentu hasilnya sangat dipaksakan. Ahh..sudahlah, saya hanya berharap semoga saya gak lelet dalam "mengelola" blog ini. Apa yang teman-teman rasakan kalau kita menjumpai hal yang lelet? Apakah kita termasuk orang-orang yang mengenyampingkan hal-hal yang "kecil" ?
Tiada gading yang tak retak

Senin, 19 Januari 2009

Iklan Gratis

Minggu pekan lalu, saya sengaja menemani sang "Kepala Staf" berbelanja ke suatu pasar tradisional. Tidak terlalu banyak memang yang akan dibeli, hanya beberapa keperluan saja, karena memang pasarnya tidak begitu lengkap, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat makanan enak atau minuman yang menyegarkan .

Karena kebetulan habis sarapan, rasanya kurang afdhol kalau tidak menikmati sebatang rokok. Lalu saya merogoh dibalik saku celana dan baju, ternyata rokok tidak saya bawa sebagaimana kebiasaan saya. Untuk itu saya segera menuju ke sebuah kios rokok yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat sarapan kami. Setelah rokok saya dapatkan, saya berdiri di depan kios itu. Sembari memandang-mandang spg rokok mengepulkan asap rokok, saya mendengar percakapan seorang ibu muda berusia sekitar 35 tahunan yang mencari sepatu sport dengan merk cukup terkenal, yaitu EAGLE untuk salah satu kelengkapan sekolah anaknya di kios yang berada persis di sebelah kios rokok tadi..

Mungkin karena panik takut kehilangan omset, lantas sang pemilik toko segera bergegas mengambilkan contoh sepatu dengan merk EGEL. Walaupun sempat mendapat komplain dari ibu tadi, namun dengan berbagai cara, sang penjual berusaha semaksimal mungkin memberikan argumentasinya, seakan-akan itulah merk sepatu yang dibutuhkan anaknya, mungkin dalam hati si penjual...masa bodoh, yang penting barang laku....

Tampak jelas, bahwa sang penjual sudah melakukan "pembohongan publik". Walaupun merk sepatu yang diminta dan yang diberi selisih 1 huruf, namun jelas memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Saya hanya bergumam dalam hati, kok tega-teganya berbuat seperti itu kepada konsumennya. Memang sekarang jaman "aspal", mulai dari merk sepatu, alat-alat elektronik, pakaian, makanan, ijazah, kosmetik, minyak goreng, sampai telur ayam kampung dan lain-lain dipalsukan.

Karena beberapa keperluan sudah kami dapatkan, kami segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, saya langsung menonton tv, terlihatlah sebuah iklan yang menyatakan isinya kira-kira di negeri Endonezya baru pertama kali dalam sejarah, harga BBM tiga kali turun. Lantas saya mencoba mengingat-ingat, harga bensin terakhir naik dari Rp. 4.500,- ke angka Rp. 6.000,-. Kemudian turun bertahap sebanyak 3 kali Rp. 500,- hingga kembali ke angka Rp. 4.500,-.

Sebagai orang awam, tentu saya bingung, hal ini "penyesuaian" harga BBM atau benar-benar turun harga..... Saya bukan seorang guru matematika, sehingga maaf kalau hitungan saya tidak tepat.....Yang cuma saya tahu adalah bahwa fungsi dari iklan adalah untuk memberitahukan suatu produk (barang/jasa) kepada orang-orang lain agar produk itu laku terjual. Selain itu, setahu saya bahwa di Inggris, para pembuat iklan harus mengikuti kode etik, yaitu sah, patut, jujur dan sesuai kenyataan...., entahlah, saya belum pernah ke Inggris, dan juga saya harus belajar bahasa inggris dulu (*sambil berharap ada teman yang bersedia mengajak saya untuk menonton pertandingan liga inggris...*).

Saya senang harga BBM turun, tapi saya cuma tidak mengerti apa maksud iklan itu. Yah..sudahlah, "mudah-mudahan" saya dan kita semua tidak bernasib sama seperti ibu yang membeli sepatu........

Tiada gading yang tak retak...

Senin, 12 Januari 2009

Kontrak

Beberapa hari yang lalu seorang teman (sebut saja bernama Polan) berkeluh kesah kepada saya tentang nasib rumah yang dikontrakkannya. Diceritakan bahwa ia memiliki sebuah rumah kontrakan yang terletak di daerah pinggiran kota dan telah dikontrak oleh pihak kedua terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2007 dengan jangka waktu satu tahun, berarti tanggal 1 Agustus 2008 masa kontrak rumah tersebut sudah habis dan sang pengontrak sudah harus meninggalkan rumah tersebut (sesuai dengan perjanjian sewa menyewa / kontrak rumah yang telah disepakati bersama).

Permasalahan yang saat ini dialami oleh Polan adalah bahwa sudah lebih dari empat bulan berselang, sang pengontrak belum bersedia meninggalkan rumah tersebut, dengan berbagai alasan, antara lain sulitnya mencari tempat tinggal di pinggiran kota apalagi di bawah pusat kota yang semakin lama semakin padat dengan gedung-gedung. Sementara si Polan sudah meniru-niru Australia dengan memberikan "travel warning" di saat tiga bulan sebelum habis masa kontrak bahwa ia tidak akan memperpanjang kembali kontrak rumah tersebut kepada siapapun, karena akan dipergunakan oleh salah seorang anggota keluarga mereka yang notabene masih “terkatung-katung”.

Ironis memang, kondisi sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Si Polan yang nota bene pemilik rumah justru menjadi pihak yang “lemah”. Dia harus “mengemis” dan mengorbankan kemaluannya perasaannya karena berhadapan dengan si pengontrak yang tidak tertib, hingga akhirnya saya diminta memberikan pandangan kepada si Polan bahwa, apapun ceritanya, isi perjanjian sewa menyewa / kontrak rumah yang telah dibuat harus ditaati, karena itu adalah wujud dari kesepakatan yang telah dibuat antara pemilik dan sang pengontrak. Bila upaya persuasive dan kekeluargaan gagal, mau tidak mau harus ditempuh melalui jalur hukum yang tegas untuk menghindari preseden buruk di kemudian hari.

Daripada nanti saya dituduh sok-sokan sebagai advisor, lebih baik kita tinggalkan dulu kisah teman saya itu…..Kisah ini ternyata mengingatkan saya kepada trend yang marak beredar akhir-akhir ini, dimana banyak pihak yang akan mencoba memasuki alam mimpi politik praktis terlebih dahulu diminta untuk menandatangani semacam kontrak politik. Hal ini dilakukan karena para konstituen khawatir, bahwa “si pemain politik” kelak pasti tidak konsisten dengan apa-apa yang telah disampaikan pada saat masa “tebar janji dan pesona”.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia miliknya WJS Poerwadarminta, kontrak memiliki pengertian sebagai perjanjian, mengadakan ikatan perjanjian. Sementara politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan suatu Negara atau terhadap Negara lain. Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Berarti kontrak politik adalah....., silahkan teman-teman mendifinisikannya karena saya sedang nggak mood dan bukan pakar politik apalagi pakar pangan.

Hal yang menggelitik adalah bahwa jika “si pemain politik” terpilih, tentu ia kan menghadapi serangkaian proses yang panjang hingga masa pelantikannya. Pada saat kalau dilantik, mereka akan mengucapkan seruan sumpah atau janji dihadapan hadirin… Nah..masalahnya adalah yang jelas-jelas saja telah diucapkan pada saat pelantikan masih belum dapat diwujudkan secara konsisten dan optimal atau bahkan melenceng, apalagi hanya sekedar sebuah kontrak picisan politik. Selain itu kesulitan mendasar dari penerapan Kontrak politik tersebut adalah jika visi yang mereka ajukan tidak dapat diwujudkan dalam APBN/APBD (karena melibatkan banyak pihak yang belum tentu memiliki ide yang sama), apa yang akan terjadi?

Sebagai mantan kyai pribadi, saya menilai belum melihat konsistensi yang signifikan antara penandatangan, perwujudan dan pertanggungjawaban isi kontrak politik. Tidak apriori malah saya berfikir jangan-jangan kontrak politik itu akan bernasib sama dengan si Polan, karena hal ini berada di luar "sistem". Kontrak politik hanya ibarat keputusan intern beberapa parpol yang mencoba menerapkan ketentuan suara terbanyak sebagai anggota legislatif pada pemilu, pada saat sebelum Mahkamah Konstitusi "menganulir" ketentuan nomor sepatu. Coba seandainya ada seorang "pemain politik" tidak dapat mewujudkan isi kontrak politik itu, apa yang akan terjadi? Lantas apakah dia harus menerima impeachment? Jika dipaksakan...justru menciptakan situasi chaos di negeri kelelawar! Jelas tidak segampang itu, karena untuk melengserkan seseorang dari suatu posisi apalagi lengsernya Presiden Soeharto, tentu ada mekanismenya.

Adakah teman-teman punya masalah dengan kontrak ? Masih perlukah dibuat kontrak-kontrak sebagaimana contoh kasus di atas? Bagaimana cara yang paling efisien untuk mengatasi kasus "ingkar" kontrak? Atau kita sama-sama pake statementnya gus dur....gitu aja kok repot!

Tiada gading yang tak retak ...


Senin, 05 Januari 2009

Trend Yang Menjanjikan!

Pada saat awal-awal pergantian tahun seperti saat ini, para designer atau siapapun yang membidangi dunia fashion biasanya jor-joran untuk mengajukan sekaligus memperkenalkan gaya atau trend mode untuk tahun-tahun berikutnya, baik pakaian, rambut, make up hingga accesoris. Mereka menganggap bahwa karya ciptaannyalah yang kelak akan ditiru oleh para penikmat atau bahkan para korban mode.

Mungkin teman-teman masih ingat bagaimana penampilan artis kaliber dunia sekelas Demi moore yang tampil dalam film Ghost, dimana ia telah memperkenalkan model rambut pendek berponinya yang membuat "demam" hampir seluruh kaum wanita penduduk dunia. Yah, memang, yang namanya trend pasti selalu akan menarik untuk dibahas dan dibicarakan.

Kalau dinegeri kita, trend-trend seperti ini seakan lebih kompleks, bukan hanya di dunia fashion, tetapi juga memasuki ranah politik. Yaitu antara lain trend pemekaran wilayah Provinsi dan atau Kabupaten. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Derah, kepada daerah dibenarkan untuk membentuk, menghapus dan atau menggabungkan daerah dengan ketentuan yang telah ditetapkan dengan alasan untuk merespon perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

PP ini sungguh menarik, karena cenderung mengakomodir semangat “ekspansi dan improvisasi” bagi daerah. Namun, selain menarik, PP ini juga “mubazir”. Karena sampai dengan saat ini saya belum pernah mengetahui apakah ada daerah yang bersedia menggabungkan diri! Karena apa? Menurut saya jawaban yang paling logis dan realistis adalah : siapa sih yang dengan sukarela kehilangan “asset dan pundi-pundi” yang selama ini ia miliki? Konon lagi dengan diluncurkannya kebijakan penghapusan daerah....yang tentu akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Saya berfikir, Pemerintah Pusat belum memiliki “power” untuk menghadapi tantangan-tantangan itu.

Berkaitan dengan wacana pemekaran daerah otonom, dengan dalih bermacam-macam, mulai dari niat “murni” untuk mewujudkan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, hingga “niat-niat lain” seperti harapan untuk menjadi “pejabat” di daerah baru. Yang ironisnya, tuntutan pemekaran wilayah itu terkesan bukan serta merta tuntutan riil dari masyarakat, tetapi adalah keinginan dari sekelompok kaum elite yang haus dan kelaparan kekuasaan, apalagi jika dikaitkan dengan “bayang-bayang” milyaran rupiah dana Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ”sangat menjanjikan” sekaligus menjadi beban bagi APBN...lherr...siapa yang tidak tertarik...termasuk saya sekalipun...he..he.

Berita yang mengejutkan bagi saya, tetapi tidak sampai membuat saya keringat dingin adalah sampai dengan kondisi tanggal 19 Desember 2008 yang lalu, Rapat Paripurna DPR bersama Pemerintah kembali menyetujui daerah baru hasil pemekaran yaitu Kabupaten Maybrat di Propinsi Papua Barat dan Kabupaten Kepulauan Meranti di Propinsi Riau. Sehingga di dalam tubuh NKRI saat ini total sudah terdapat 33 Propinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota.

Melihat trend pemekaran daerah yang sangat marak akhir-akhir ini, kita seharusnya khawatir, jangan sampai ketentuan perundang-undangan yang merupakan hasil keterlibatan Pemerintah dengan calo wakil rakyat kita di lembaga legislatif disalahgunakan hanya untuk kepentingan golongan tertentu. Otonomi daerah seakan membuat kita menjadi terpisah-pisah. KDH seakan menjadi raja-raja kecil. Semangat NKRI menjadi luntur, jika kita salah mengartikan makna dari otonomi daerah.

Walaupun untuk pembentukan daerah Provinsi dan atau Kabupaten/Kota tetap memiliki persyaratan harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan sebagaimana amanat pasal 4 PP Nomor 78 Tahun 2007 itu, namun jika menilik dari isi PP tersebut, masih dimungkinkan celah bagi kita untuk memainkan peran yang subjektif…

Saya bukannya anti dengan semangat otonomi maupun pemekaran daerah, namun saya tidak terima dengan semangat untuk "mengakal-akali" otonomi daerah dan pemekaran daerah yang tidak didasarkan dengan kemampuan dan potensi daerah. Untuk itu seharusnya Pemerintah segera mengambil langkah jitu dan tegas untuk melakukan revisi terhadap ketentuan yang ada, berupa pengetatan aturan teknisnya disertai dengan "political will" dan niat yang sungguh-sungguh, sehingga pemekaran daerah tidak menjadi sekedar "ephoria dan retorika" layaknya repotnasi reformasi.

Lumayan khan... apabila terbentuk satu Propinsi/Kabupaten/Kota baru tentu akan melahirkan “lapangan kerja” baru misalnya sebagai Pimpinan Daerah, anggota DPRD, tentu akan ada recruitment Pegawai Negeri (Sipil, TNI dan Polri) baru, Karyawan BUMN, karyawan BUMD dan lain-lain termasuk apabila, investasi berupa tanah warisan dari leluhur yang kita miliki akan dibeli oleh Pemda untuk keperluan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, seperti pembangunan komplek perkantoran dan sebagainya, tentu kita akan jadi OKB (orang kaya baru) dongg....

Makanya teman-teman, daripada kita capek bisnis-bisnis via internet, pasang iklan, ngejar traffic, ilmu SEO, berburu Alexa dan lain-lain, mendingan kita bikin "daerah baru" yukkkk....he..heh....

Siapa yang mau gabung dengan saya? Silahkan angkat kaki tangan... Buruan karena saya akan segera menyusun "kabinet obama"nya.......

Tiada gading yang tak retak...