Kamis, 17 April 2008

Restrukturisasi Birokrasi Melalui Implementasi PP 41/2007


Konsep Birokrasi

Konsep birokrasi menurut Max Weber menunjuk pada pengaturan pekerjaan secara hierarkis, impersonal, rasional, yurisdiktif-legalistik dan meritokrasi (Thoha, 1995). Dapat pula dikatakan bahwa birokrasi adalah merupakan bentuk organisasi yang paling rasional. Dimana karakteristik birokrasi yang ideal itu menurut Weber dapat disimpulkan dengan ciri-ciri sistem kewenangan yang hierarkis, pembagian kerja yang sistematis, spesifikasi tugas yang jelas, kode etik disiplin dan prosedur yang jelas dan sistematis, kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten, aplikasi kaidah-kaidah umum ke hal-hal spesifik dengan konsisten, seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang obyektif, sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya (Denny, 1999).

Birokrasi dalam perspektif Weber meletakkan efisiensi sebagai norma birokrasi, karena itu untuk meningkatkan efisiensi sistem pembagian kerja dalam birokrasi dikembangkan melalui spesialisasi kerja yang jelas. Pengembangan birokrasi dilakukan baik secara vertikal (hierarkis) ataupun secara horizontal dalam organisasi. Birokrasi juga harus memiliki aturan yang jelas yang mengatur hubungan kerja secara impersonal. Jabatan-jabatan di birokrasi diisi oleh orang-orang yang secara teknis berkompeten atau profesional dibidangnya. Pola rekruitmen dan promosi pegawai dalam birokrasi didasarkan pada aturan formal. Para pegawai (birokrat) memandang tugas sebagai karier seumur hidup dan mendapatkan kompensasi (gaji) dari tugas yang dilaksanakan. Sumber legitimasi dari birokrasi berasal dari aturan yang berlaku (legalitas formal).

Deskripsi mengenai konsepsi birokrasi modern apabila dikelompokkan setidaknya akan menjadi tiga ketegori, yaitu :

a. Birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (Bureau-Rationality) seperti yang terkandung dalam (Hegelian Bureaucracy = institusi yang menjembatani antara Negara yang memanifestasikan kepentingan umum dan Civil Society yang memanifestasikan kepentingan khusus dalam masyarakat (Tjokrowinoto, 1990) dan Weberian Bureaucracy ( organisasi yang sumber legitimasinya bersandar pada pola-pola legal dan peraturan-peraturan resmi ).

b. Birokrasi dalam pengertian sebagai suatu penyakit (Bureau-Pathology) atau birokrasi dipandang sebagai suatu yang negatif, buruk dan kontra produktif seperti diungkap oleh Karl Marx, Laski dan sebagainya.

c. Birokrasi dalam pengertian netral (Value-Free) dimana birokrasi dipandang sebagai birokrasi pemerintah (Governmental Bureaucracy), yakni sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisasi secara formal (Santoso, 1993) dan birokrasi dipandang sebagai sistem pelaksanaan kerja yang berpegang pada hierarki dan jabatan yang berisi wewenang dan tanggung jawab yang berpengaruh dan saling menentukan pelaksanaan pekerjaan setiap unit/satuan kerja (Nawawi, 1994).

Birokrasi di Indonesia

Pada era pemerintahan orde baru, birokrasi menempati posisi yang dominan, dimana hal ini merupakan salah satu instrumen dari praktek pemerintahan yang otoriter. Ketika birokrasi dihadapkan dengan masyarakat, maka posisi masyarakat relatif tidak berdaya. Semua lini kehidupan masyarakat hampir tidak ada yang steril dari intervensi birokrasi, hal ini terjadi bukan hanya pada strata tampuk pimpinan tertinggi tetapi juga sampai pada tingkatan ujung tombak di lapangan seperti Kepala Desa, sehingga kondisi ini selain menciptakan ketidakberdayaan masyarakat, juga akhirnya membuat masyarakat “sangat tergantung” dengan birokrasi.

Dengan bergulirnya era reformasi, maka muncul keinginan untuk memberdayakan masyarakat dan mengurangi dominasi birokrasi. Keinginan tersebut merupakan cerminan dari “hatinya” demokrasi. Demokrasi menuntut penguatan pada sisi masyarakat dibandingkan hanya birokrasi semata. Dengan terciptanya iklim demokratisasi memungkinkan masyarakat dapat menentukan nasibnya sendiri yang selama ini tidak bisa didapatkannya, selain itu masyarakat juga akan memiliki akses yang luas untuk masuk dan terlibat dalam arena proses pengambilan public policy. Demokrasi menjadikan masyarakat tidak lagi sekedar hanya sebagai objek yang bisa dieksploitasi tetapi juga berperan sebagai subjek yang “mewarnai”.

Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin mengglobal, good Governance sudah menjadi tuntutan sekaligus kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Good Governance menuntut keseimbangan peran antar seluruh unsur pendukungnya, yaitu Negara/pemerintah, swasta dan masyarakat. Sehingga tak ayal terkadang saat ini kita masih bisa menyaksikan ketidakberdayaan masyarakat bila dibandingkan dengan posisi unsur lainnya sebagai akibat dari “kenang-kenangan” praktek penyelenggaraan pemerintah masa lalu yang cenderung otoriter.

Dengan diimplementasikannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka salah satu “pekerjaan rumah” pemerintah daerah adalah melakukan restrukturisasi terhadap birokrasinya. Karena menurut UU tersebut bahwa susunan dan pengendalian organisasi perangkat daerah dilakukan dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP). PP yang dimaksud dan yang berlaku saat ini adalah PP Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Peraturan Pemerintah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi dan komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

Keharusan pemerintah daerah untuk melakukan restrukturisasi terhadap birokrasi haruslah sejalan dengan perkembangan paradigma penyelenggaraan pemerintahan yang harus mampu mewujudkan prinsip-prinsip Good Governance khususnya di tingkat lokal. Sehingga diharapkan melalui restrukturisasi birokrasi, pemerintah daerah dapat mampu menciptakan pemberdayaan masyarakat.

Penentuan jumlah perangkat daerah sesuai dengan jumlah nilai yang ditetapkan berdasarkan perhitungan dari variabel, dan masing-masing pemerintah daerah tidak mutlak membentuk sejumlah perangkat daerah yang telah ditentukan sesuai dengan variabel tersebut. Urusan pemerintahan yang perlu ditangani terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Masing-masing urusan pada prinsipnya tidak mutlak dibentuk dalam lembaga tersendiri, namun sebaliknya masing-masing urusan dapat dikembangkan atau dibentuk lebih dari satu lembaga perangkat daerah sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi, kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing.

Dengan dilakukannya Restrukturisasi Birokrasi diharapkan bermuara pada sebuah Birokrasi Pemerintah Daerah yang tampil dengan penampilan yang fit dan prima. Performa yang diharapkan tersebut seharusnya tidak lagi seperti yang terjadi pada masa lalu, yaitu sebuah birokrasi pemerintah daerah yang gemuk dan lamban sehingga banyak memerlukan resources, namun harus eksis dan ramping serta kaya akan fungsi. Apabila birokrasi pemerintah daerah bisa tampil dengan performa “lean and mean” maka kehendak untuk memberdayakan rakyat mudah-mudahan dapat diwujudkan. Karena sumber daya yang selama ini dipakai untuk birokrasi bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat. Dengan berdayanya masyarakat maka akan ada keseimbangan peran dari semua unsur penopang Good Governance.

Untuk menciptakan kondisi yang diharapkan itu, maka birokrasi tersebut harus mampu merubah dirinya menjadi sebuah organisasi yang dapat meningkatkan kompetensi administrasi, transparan dan efisien. Kompetensi administrasi dari birokrasi pemerintah daerah akan memungkinkan organisasi tersebut memiliki kompetensi institusi dan personil.

Untuk itu, maka dalam konteks restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, organisasi birokrasi harus memiliki kedua kompetensi itu. Kompetensi kelembagaan mengandung makna bahwa organisasi yang dibentuk benar-benar memiliki kewenangan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif dan efisien. Kompetensi kelembagaan dimaksudkan untuk menghindari adanya duplikasi pelaksanaan tugas (overlapping) karena dengan adanya kompetensi lembaga maka setiap lembaga akan memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga lainnya dalam menjalankan aktivitas dan mencapai tujuan organisasi.

Sedangkan kompetensi personil diartikan sebagai kemampuan dan karakteristik yang dimiliki personil berupa pengetahuan dan keterampilan yang dijadikan dasar dalam penempatan/promosi pada jabatan-jabatan yang tersedia dalam jajaran organisasi birokrasi hasil proses restrukturisasi. Dengan ada kompetensi personil di jajaran organisasi birokrasi pemerintah daerah maka penggunaan sumber daya untuk keperluan birokrasi akan mengalami pengecilan, dan profesionalisme birokrat dapat diwujudkan. Kemampuan personil dalam menjalakan tugas dengan baik (wujud dari profesionalisme) akan mengurangi penggunaan biaya-biaya yang tidak semestinya.

Selain kompetensi administrasi, organisasi yang transparan memungkinkan masyarakat dapat mengontrol birokrasi dalam menjalankan aktivitasnya. Adanya kontrol yang ketat dari masyarakat inilah yang menyebabkan birokrasi tidak lagi bisa seenaknya menggunakan sumber daya yang ada. Yang dimaksud dengan transparansi adalah dimana kebijakan memiliki karakteristik yang mudah dipahami, informasi tentang kebijakan mudah diperoleh, akuntabilitasnya jelas, dan masyarakat mengetahui aturan main dalam implementasi kebijakan. Aspek transparansi lebih mengarah pada kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi kebijakan, program dan proyek yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah (Widodo, 2001), atau dengan kata lain transparansi dapat diartikan sebagai keterbukaan yang dimiliki oleh organisasi dalam implementasi kebijakan publik, dimana rakyat secara leluasa dapat memperoleh informasi dan mengetahui secara jelas tentang proses perumusan dan implementasi kebijakan publik.

Sedangkan efisiensi dimaksudkan bahwa restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan pemerintah daerah harus mampu menghasilkan sebuah organisasi birokrasi yang lebih sederhana, ramping namun kaya fungsi sehingga aspek efisiensi khususnya dalam penggunaan dana publik untuk keperluan birokrasi menjadi lebih baik (efisien). Mengenai pentingnya penyederhanaan lembaga dan efisiensi dalam kerangka Good Governance Nisjar dalam Widodo (2001) menyebutkan bahwa penerapan prinsip - prinsip “Good Governace”, adalah bahwa pemerintah harus … menciptakan struktur kelembagaan bagi berkembangnya partisipasi masyarakat, … dengan demikian perlu ada perampingan birokrasi atau corak pemerintah. Karena birokrasi adalah lembaga implementasi kebijakan publik, maka dalam kegiatan pelaksanaan kebijakan publik harus dilakukan secara efisien (Widodo, 2001). Efisiensi merupakan penggunaan waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang semurah-murahnya dalam memberikan pelayanan (Dwiyanto dkk, 2002).

Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah Daerah

Struktur organisasi dapat didefinisikan sebagai mekanisme-mekanisme formal dengan mana organisasi dikelola. Struktur organisasi menunjukkan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan-hubungan diantara fungsi-fungsi, bagian-bagian atau posisi-posisi maupun orang-orang yang menunjukkan, tugas wewenang dan tanggung jawab yang berbeda-beda dalam suatu organisasi (Handoko, 1995). Struktur organisasi berkaitan dengan hubungan yang relatif tetap diantara berbagai tugas yang ada dalam organisasi. Proses untuk menciptakan struktur tersebut, dan pengambilan keputusan tentang alternatif struktur disebut desain organisasi (Gitosudarmo, 1997).

Restrukturisasi Birokrasi dapat diartikan sebagai sebuah proses penataan ulang terhadap tatanan birokrasi yang telah ada. Ketika terjadi dinamika pada lingkungan baik internal maupun eksternalnya maka birokrasi juga harus mengadaptasi dinamika tersebut supaya dapat survive. Adaptasi terhadap dinamika yang terjadi menyebabkan birokrasi harus tampil sesuai dengan realitas yang ada. Restrukturisasi atau penataan kembali organisasi birokrasi pada hakekatnya adalah aktivitas untuk menyusun satuan organisasi birokrasi yang akan diserahi bidang kerja, tugas atau fungsi tertentu.

Keberhasilan penataan organisasi tergantung pada dua hal yaitu penetapan kebijakan perubahan struktur yang mampu mengantisipasi perubahan struktur di masa depan, dan partisipasi seluruh anggota organisasi, kemampuan mengubah tingkah laku mereka, keterampilan dan sikap (Huse, 1985). Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penataan organisasi merupakan kegiatan untuk mendesain organisasi yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan lingkungan. Kegiatan mendesain struktur organisasi menurut Robbins (1994) adalah menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Oleh karena itu, struktur organisasi sangat penting bagi suatu organisasi agar mekanisme kerja dapat berjalan dengan baik.

Penyusunan struktur organisasi menurut Siagian (2000) harus memperhatikan empat faktor pendekatan situasional, yaitu :

a. Struktur organisasi harus sesuai dengan tugas untuk menghilangkan kesan bahwa organisasi terlalu besar dan rumit. Struktur organisasi dikaitkan dengan misi yang harus diemban, strategi yang ditetapkan, uraian tugas institusional dan personal, tersedianya tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang spesialistik, dukungan anggaran, serta tersedianya sarana dan prasarana kerja;

b. Pengurangan jarak kekuasaan, berarti penciptaan organisasi yang datar, peningkatan intensitas dan frekuensi komunikasi langsung antara atasan dan bawahan, pemberdayaan para bawahan, terutama dalam bentuk kesempatan turut terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan, penyeliaan yang simpatik, dan sistem penilaian kinerja bawahan yang objektif;

c. Kemungkinan penggunaan tipe-tipe organisasi lain. Seperti diketahui, berbagai tipe organisasi yang dapat digunakan ialah organisasi fungsional, organisasi matriks, dan kepanitiaan atau adhocracy. Dengan menggunakan salah satu tipe organisasi tersebut, kinerjanya akan memuaskan, tingkat efisiensi, efektivitas, dan produktivitasnya tinggi, mampu memberikan pelayanan dengan cepat, dan kepuasan kliennya terjamin;

d. Salah satu prinsip organisasi yang harus dipahami adalah keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab. Hal ini berarti struktur apapun yang digunakan harus menjalin keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab yang mencerminkan kebijakan pimpinan dalam menerapkan pola desentralisasi untuk pengambilan keputusan.

Pentingnya struktur organisasi dikemukakan oleh Ancok (2001), bahwa keunggulan kompetitif organisasi antara lain ditentukan oleh struktur yang ramping “lean dan mean” atau dalam bahasa yang lain disebut “miskin struktur kaya fungsi”. Hal ini sejalan dengan perspektif Osborn dan Gaebler (Reinventing Government, 1996), yaitu dengan adanya pergeseran peran pemerintah dari “rowing to steering” mengarahkan maka organisasi birokrasi pemerintah juga harus mampu mengadaptasi hal tersebut. Oleh sebab itu restrukturisasi birokrasi haruslah mampu menghasilkan sebuah struktur yang ramping, fleksibel, responsive, dan efisien.

Tiada gading yang tak retak………………….


From Various resourches.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar