Kamis, 30 April 2009

Meu jual Laptop ACER Aspire 4935G-863G32Mn


Saya mau jual nih Laptop ACER Aspire 4935G-863G32Mn BARU, sama sekali belum pernah dipakai dengan spesifikasi sebagai berikut :

1. Intel Core 2 Duo Processor P8600 (2,4 GHz, 1066 Mhz FSB, 3 MB L2 cache)
2. Up to 1791 MB NVIDIA,GeForce 9300M GS TurboCache
3. 3GB DDR2
4. 14.0 inch HD Acer CineCrystal LED LCD
5. 320 GB HDD
6. DVD Super Multi DL
7. 802.11a/b/g/Draft-N WLAN
8. Garansi Acer Nasional (1 tahun,)

Buat para juragan yang berniat serius memilikinya silahkan hubungi (Agung) :
Hp : 0819838479
atau YM : ilmu_smart2005@yahoo.com

Nb : COD wilayah jogja dan sekitarnya

Sabtu, 25 April 2009

Situasi Setelah Diadakan Pemilu Legislatif 2009

Cukup sedih melihat berbagai media hingga saat ini masih saja menyiarkan berita kisruh setelah diadakan Pemilu legislatif beberapa waktu yang lalu.
Rekapitulasi kacau di hampir semua daerah Indonesia,fyuhhh..
Semua calon legislatif berlomba-lomba menuntut keabsahan hasil Pemilu tersebut. Wajar-wajar saja menurut saya.
Kalau sudah seperti sekarang keadaanya, siapa yang harus bertanggung jawab?
Apa sebenarnya yang mereka inginkan?lebih kepada kepentingan pribadi saja atau memang benar-benar untuk memperbaiki nasib bangsa ini?
Begitu banyak calon legislatif apa artinya bagi anda?
Apa tidak pernah terpikir berat memegang amanah sebagai pemimpin?
Anda yang tergabung dalam generasi muda penerus bangsa, mari kita satukan visi, kita perbaiki secara bertahap, cari solusi tepat untuk menyelesaikan secara total masalah-masalah seperti ini.

Rabu, 15 April 2009

Sugesti dan Kultus

Teringat saya dengan kisah yang pernah saya alami beberapa tahun yang lalu, dimana seorang teman memiliki "ikatan emosional" yang sangat tinggi dengan seorang dokter. Setiap ia sakit, selalu saja ia berobat kepada dokter langganannya.

Pernah pada suatu waktu, ketika kami kebetulan secara bersamaan melaksanakan tugas dinas ke luar kota, sang teman mengalami gangguan kesehatan yang sesungguhnya menurut saya "cukup sederhana", yaitu hanya sekedar sakit kepala. Ia langsung kebingungan dan mencoba menghubungi handphone (hp) sang dokter. Namun ternyata nomor hp sang dokter sedang tidak bisa dihubungi. Ia begitu kalut, seakan-akan hanya satu-satunya dokter yang mampu menyembuhkan penyakit yang sedang dideritanya, yaitu dokter langganannya.

Karena merasa prihatin, saya pun lantas menawarkan sang teman untuk berobat ke suatu klinik pengobatan. Dengan berbagai alasan, sang teman tetap aja enggan untuk berobat, karena sekali lagi ia menyatakan sudah sangat intim cocok dengan dokter langganannya. Dengan berbagai cara saya mencoba membujuknya, namun tetap gagal.

Setelah usai melaksanakan perjalanan dinas tersebut, kami segera kembali ke daerah "asal". Diceritakannya, ketika kami sudah sampai dengan selamat di rumah kami masing-masing, sang teman segera bergegas meluangkan waktu untuk berobat ke dokter langganannya, dan setelah bertemu dan meminum obat pasaran yang telah disediakan, dalam kurun waktu cukup singkat, segera sembuh dan hilanglah segenap "perasaan pusing dan sakit kepala" sang teman.

Kondisi seperti ini tentu membuat saya khawatir, jika hp sang dokter tidak dapat dihubungi saja sudah membuat sang teman menjadi kalut, lantas bagaimana jika sang dokter pindah domisili ke tempat lain yang cukup jauh, atau bahkan jika sang dokter "tiada". Apa yang terjadi pada sang pasien?

Kisah ini sungguh sangat menarik bagi saya, ternyata perasaan sugesti (pengaruh yang dapat menggerakkan hati seseorang) yang telah begitu tertanam dalam benak seseorang, ternyata sangat sulit dihilangkan, bahkan dapat menimbulkan semacam pengkultusan terhadap figur seseorang. Kondisi seperti ini sesungguhnya memang sulit dikaji secara akal sehat. Seperti contoh lain, bagaimana warga masyarakat berbondong-bondong mengunjungi Ponari sang dukun cilik asal Jombang, bahkan secara ekstrim, ada sebagian masyarakat yang dengan relanya meminum air comberan yang diduga sebagai bekas air basuhan mandi Ponari.

Jika kisah di atas dikaitkan dengan proses demokrasi di Indonesia, "semangat sugesti ala Rommy Rafael dan kultus" ini masih terasa. Bahkan menurut hasil terawangan saya, masih cukup dominan pendukung partai politik peserta pemilu legislatif 09 April 2009 yang lalu, mencontreng caleg dan atau lambang parpol karena hasil dari "pengkultusan" terhadap figur/petinggi suatu parpol.

Menurut hemat saya, kondisi seperti ini tidaklah baik untuk pendidikan politik dan demokrasi. Perkembangan "budaya" seperti ini sebaiknya sudah harus kita pupus habis. Sesungguhnya kita berharap agar seseorang memanfaatkan hak pilihnya adalah karena didasari dengan logika dan rasionalitas. Memilih wakil dan atau pemimpin bukanlah sekedar "pekerjaan lepas rodi", karena semua itu berimplikasi terhadap nasib kita, nasib bangsa Indonesia.

Ada pepatah yang menyatakan bahwa untuk mendudukkan seseorang dalam suatu posisi hendaknya memperhatikan aspek "the right man in the right place"," the man behind the gun", bahkan sebuah hadist Rasulullah SAW menyatakan, "jika sesuatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya". Artinya apa??? Mari kita berfikir dengan cermat dan seksama dalam memilih pemimpin, karena sugesti dan pengkultusan adalah sebuah subjektifitas yang semu! Apakah sugesti dan pengkultusan ini merupakan wujud kegagalan kita semua? Atau bahkan merepresentasikan krisis kepemimpinan di negara ini? Entahlah, mungkin teman-teman semua memiliki jawabannya....silahkan berpendapat..........

Tiada gading yang tak retak...

Kamis, 02 April 2009

Kita dan Sepotong Roti

Di Rabu sore yang lalu, saya bersama si sulung berbelanja "sangu sekolah" pada sebuah toko swalayan di kotaku. Yah, saya memang mencoba menerapkan pengalaman "masa kecil" saya kepada anak untuk tidak memberikan "sangu" berupa uang ke sekolah. Selama kurang lebih setengah jam kami berada disana, dan telah mendapati seluruh keperluan sang anak, kami segera menuju kasir untuk menyelesaikan pertanggungjawaban pembayaran. Setelah berfikir sejenak untuk mengingat kembali "daftar" belanja, akhirnya saya memastikan sudah tidak ada lagi daftar belanja yang tertinggal.

Setelah itu, si sulung meminta diambilkan makanan ringan tersebut dari kantong belanja, dan segeralah ia "mengeksekusi" satu bungkus roti. Yah, namanya saja anak kecil yang baru berusia enam tahun dan masih duduk di bangku kelas 1 SD, pada saat menuju pintu keluar dari swalayan tersebut, roti yang baru dinikmati beberapa gigitan saja, tiba-tiba jatuh terpental ke lantai, karena tersenggol oleh pengunjung lain yang kebetulan cukup ramai. Lantas, segera saya "perintahkan" si sulung untuk memungut roti yang berserakan itu untuk selanjutnya di buang ke dalam kotak sampah.

Kemudian, pada saat meninggalkan gedung swalayan sembari menuju parkir, kami dibuntuti oleh 2 orang preman bertatto anak kecil yang kira-kira berusia 3-4 tahun. Mereka menengadahkan tangan sambil berharap uluran dari orang yang sok "berbaik hati". Lantas si sulungpun mengatakan kepada saya, "Pa, ambilin dong snacknya, buat adik-adik itu," sembari tangannya menunjuk ke arah anak-anak yang membuntuti kami. Dalam perjalanan menuju pulang, saya sekedar menanyakan kepada si sulung, mengapa ia tadi rela memberikan beberapa bungkusan snack kepada (maaf) anak-anak jalanan itu, dan langsung dijawab, "bahwa kalau memang kita ada, maka kita harus berbagi dengan orang-orang lain yang membutuhkannya pa," ujarnya lantang.

Sesampainya di rumah, saya terus mengingat-ingat apa yang disampaikan oleh si sulung. Sehingga memupuskan sebuah keegoisan yg sempat berkecamuk di hati. Saya menjadi teringat dengan pelaksanaan pesta demokrasi yang akan digelar pada tanggal 09 April 2009 yang akan datang. Dimana menurut pemberitaan dari berbagai media dan juga hasil "investigasi ecek-ecek" yang saya lakukan, akan banyak warga masyarakat yang golput. Hal itu tentu didasari dengan berbagai pertimbangan, antara lain mungkin menganggap tidak terdaftar dalam DPT, mencontreng adalah kegiatan yang hanya membuang-buang waktu, merasa tidak ada figur/parpol yang layak untuk dipilih, merasa apatis karena dengan memberikan hak suara ternyata tidak membawa perubahan apapun khususnya bagi dirinya, hingga memang benar-benar merasa pemilu hanya merupakan kegiatan "seremonial" dan tidak berguna dan masih banyak alasan lainnya. Padahal secara ideal, hasil Pemilu akan turut mempengaruhi perkembangan "nasib" bangsa. Karena menurut ketentuan, lembaga legislatif turut berperan dalam melakukan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang sangat erat kaitannya untuk kelancaran dan kesuksesan roda pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.

Saya terus berfikir, bangsa kita masih memerlukan sumbangsih kita, walaupun itu "hanya" sekedar berpartisipasi dalam pemilu yang diwujudkan dengan mencontreng wakil rakyat yang kita nilai mampu memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Berpartisipasi dalam pemilu memang bukanlah suatu kewajiban, melainkan merupakan hak dari seluruh warga masyarakat yang memenuhi persyaratan. Tidak semua parpol buruk, tidak semua caleg itu tidak berkualitas. Masih ada parpol dan atau caleg yang memikirkan nasib masyarakatnya. Dan justru sesungguhnya pemilu inilah merupakan momentum yang paling tepat dalam memilih wakil rakyat yang benar-benar diharapkan mampu mengubah nasib bangsa ke arah yang lebih baik.

Jika dikaitkan antara kisah yang kami alami dengan pemilui, mungkin bisa di ibaratkan dengan kita yang sudah memegang dan memiliki "sepotong roti". Lantas roti itu kita sia-siakan. Sementara masih banyak sekali orang yang membutuhkan roti itu, baik itu untuk hanya sekedar "mengganjal perut, mengatasi rasa lapar, menyambung hidup, bahkan ada yang memang sudah kenyang tetapi ingin terus menjejalkan roti itu ke dalam perutnya yang sudah buncit."

Nah, sekarang semua berpulang kepada kita semua.....Saya hanya berfikir, akan sangat bijak dan tidak salah kaprah, jika "jatah roti" yang sudah dibagi-bagikan kepada kita, tidak kita sia-siakan, tetapi kita serahkan kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkannya, dan kita anggap akan mampu menghasilkan "energi" baru yang lebih baik............

Tiada gading yang tak retak ...