
Ketika saya baru selesai melakukan aktifitas rutin di "ladang" dan hendak menuju pulang ke rumah, di perjalanan saya melintasi rumah seorang teman dan melihatnya terburu-buru mengeluarkan sepeda motor keluar dari halaman rumah, didampingi oleh sang istri dan anaknya yang masih balita. Karena cuaca yang kurang kondusif (baca : langit gelap dan hujan semi deras), saya langsung berhenti tepat di depan rumah mereka. Dengan bergegas sayapun menanyakan hendak kemana mereka keluar rumah disaat cuaca demikian, sang teman lantas menjawab, bahwa mereka hendak berangkat ke "
Doktor", karena anaknya sedang demam yang cukup tinggi. Lantas saya bertanya, Doktor mana? Kemudian dia jawab Doktor anu
nya... Ho..ho..ho..., saya lantas mengerti bahwa yang dimaksud oleh sang teman adalah
praktek dokter. Singkatnya, karena merasa
sok pahlawan prihatin, saya menawarkan angkutan untuk menuju praktek "Doktor" dan singkatnya Alhamdulillah, berdasarkan hasil pemeriksaan, anak tersebut hanya demam flu biasa.
Yah, memang...terkadang banyak komunikasi dan dialog yang berkembang diantara kita sering kurang tepat. Penyebutan dokter di "kampung kami" acap disebut dengan sebutan Doktor. Jika kaum pendatang yang tidak segera maklum dengan penyebutan istilah itu, tentu akan bertanya-tanya dalam hatinya, begitu banyak lulusan
program doktoral disini. Komunikasi seperti ini juga sering kita dengarkan dari dialog-dialog di warung-warung. Di saat konsumen hendak membeli detergen daia, dia menyebut
Rinso daia. Konsumen hendak membeli mie instant supermie, dia menyebut
Indomie supermie. Begitu juga jika konsumen hendak mencari pasta gigi formula, sering terucap kata
Pepsodent formula. Dan sangat banyak penyebutan-penyebutan salah kaprah yang lain seperti hotspot yang disebut
wifi, flashdisk disebut usb, Kepala Sekolah SD 1 (harusnya Kepala SD 1), kerja di Bank BRI (kan harusnya kerja di
Bank Rakyat Indonesia) dan lain-lain.
Sebenarnya saya tidak terlalu mengetahui, apakah salah kaprah dalam penyebutan beberapa istilah seperti ini akan berdampak besar dalam kehidupan nyata, karena saya bukanlah seperti mas Sawali yang seorang
guru bahasa Indonesia, apalagi seperti mas marsudiyanto yang
guru matematika. Namun saya tetap berfikir, apapun yang namanya "miss", jelas pasti akan membawa dampak, dan cenderung menghasilkan kesalahpahaman, contohnya miss komunikasi dan miss-
miss universe yang lain.
Nah..., bukannya sok usil jika dikaitkan dengan hangatnya situasi politik menjelang pesta demokrasi 2009 ini, menurut saya ada beberapa kesalahkaprahan, antara lain tentang keberadaan "janji" partai politik (parpol) yang dibungkus dengan bahasa atas nama rakyat. Dimana hampir seluruh iklan politik menyatakan, seolah-olah sekarang parpol mudah dan mampu memberikan "pencerahan kehidupan" jika berhasil memenangkan pemilu. Tentu mungkin yang mereka pikirkan adalah bagaimana strategi untuk meraih simpati dan suara yang sebanyak-banyaknya.
Ada parpol yang menyatakan bahwa mereka telah berprestasi
menurunkan harga BBM, ada yang menyatakan berhasil sukses membawa Indonesia kepada
swasembada pangan, ada juga yang menyatakan
sukses dan berkembangnya pertanian dibawah kepemimpinan sang menteri yang merupakan kader parpol tersebut, ada yang siap membuat
kontrak politik dan banyak lagi yang lainnya. Sebagai orang awam, tentu saya makin bingung. Sesungguhnya siapakah yang membuat kebijakan? Siapakah yang memprogramkan dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai "kesuksesan" itu? Kan Pemerintah atas dukungan seluruh stakeholders bukan oleh salah satu parpol. Pemerintah (baca : kabinet) yang saya maksud disini adalah terdiri dari banyak "unsur", bukan hanya partai A, B, C, D sampai Z.
Berkaitan dengan hal di atas, ada sebuah contoh sederhana. Misalnya, jika suatu daerah akan melaksanakan Pilkada, calon kepala daerahnya sebut saja bernama X dan Y yang diusung oleh sekian parpol. Kemudian berdasarkan hasil pilkada, pasangan X dan Y berhasil unggul memimpin perolehan suara, dan akhirnya mereka dilantik. Lalu timbul satu pertanyaan. Kebijakan apa yang akan dilaksanakan oleh KDH? Jawabannya sudah pasti adalah kebijakan pemerintah daerah dan bukan kebijakan parpol pengusung. KDH tentu akan melaksanakan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), hingga terus mengerucut kepada kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Oleh karena itu, kesimpulan ngawur menurut saya adalah bahwa keberadaan suatu parpol dalam pemilu "pemimpin", sesungguhnya hanya berfungsi sebagai "kendaraan pengantar"!
Pada tanggal 09 April 2009 yang akan datang, akan berlangsung pemilu secara nasional, sebagai wahana untuk memilih "wakil
parpol rakyat". Saya hanya
pura-pura berharap agar pengurus parpol, untuk tidak salah kaprah dalam menempatkan posisi. Informasikanlah secara benar
tujuan dan fungsi parpol. Mari kita berikan kepada rakyat pendidikan politik yang tepat, agar rakyat kita semakin cerdas dalam menentukan wakil dan pemimpinnya sesuai dengan hati nurani.
Akan lebih netral dan objektif, jika seseorang "aktor politik" yang telah menduduki posisi publik seharusnya "menanggalkan seragam lamanya", sehingga tidak menimbulkan dualisme.
Satu tubuh dua nyawa! Ingat.... Pemimpin adalah merupakan pejabat publik, milik semua orang yang dipimpinnya, bukan milik sebagian golongan. Saya khawatir, jika kita salah kaprah, maka kitapun akan salah kiprah!!!
Pernahkah teman-teman salah kaprah? Pernahkah teman-teman salah kiprah? Atau jangan-jangan saya sendiri sekarang salah kaprah dan atau salah kiprah dalam membuat postingan ini........Ahh EGP..... asal jangan salah masuk kamar mertua aja! (baca sidebar NYANTE AZA LAE di atas kanan dan baca juga lima kata dibawah postingan, he...he...).
Tiada gading yang tak retak ...