Senin, 02 Juni 2008

Potret Buram Di Perguruan Tinggi (BHMN)

Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama lagi, ratusan ribu orang bakal calon alumnus SLTA se- Indonesia mulai berfikir panjang. Bagaimana tidak, mereka sudah mulai merencanakan untuk memasuki ”alam baru dunia akademis” yang dianggap bergengsi dan memberikan secercah harapan tentang masa depan, yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM PTN).

Yah, setelah sekian lama berlangsung dan mengalami metamorfosis sejak bernama SKALU (Sekretariat Kerja sama Antar Lima Universitas) yang pertama kali diadakan secara serentak oleh Lima Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 1976 yang selanjutnya diperbaiki dan berganti istilah menjadi Proyek Perintis. Pada tahun 1983 dengan cara mengadopsi sistem Proyek Perintis 1 dan 2 secara nasional serta menghapus Proyek Perintis 3 dan 4, diterapkanlah Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Pada tahun 1989, Sipenmaru berubah menjadi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang berlangsung hingga tahun 2001, sejak tahun 2001 UMPTN berganti nama kembali dengan Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan mulai tahun 2008 ini dikenallah istilah SNM PTN.

Setelah sekilas kita mengingat sejarah perkembangan nomenklatur penerimaan mahasiswa baru, barulah kemudian kita mulai memikirkan bagaimana anak-anak, adik, diri dan keluarga dan generasi muda penerus bangsa kita bisa mengenyam pendidikan di bangku PTN!

Sejak diberlakukannya Undang-undang 20 Tahun 2003 jo UU 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, semakin terasa, bahwa hak-hak warga masyarakat di bidang pendidikan, ”sepertinya” tidak lagi mendapatkan jaminan dari negara. Mengapa? Karena sesuai dengan Pasal 24 (2 dan 3) UU tersebut dijelaskan bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat, kemudian perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

Dengan dalih untuk meningkatkan daya saing, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) 61 tahun 1999 membuka kemungkinan mengubah status PTN menjadi Badan Hukum dimana Perguruan Tinggi merupakan Badan Hukum Milik Negara yang bersifat nirlaba. Kelahiran PP ini ternyata mendapat respons dari beberapa PTN, yang diawali dengan pemberian status BHMN, kepada empat PTN, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang saat ini terus berkembang hingga menjadi sedikitnya sembilan PTN, yaitu Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Airlangga (UNAIR) dan Institut Teknologi Surabaya (ITS).

Namun, keberadaan status sebagai BHMN bukanlah kemudian membuat ”iklim dunia PT” menjadi lebih baik, malah mereka membuat kebijakan yang cenderung diskriminatif. Demi mewujudkan otonomi dunia kampus, alasan kekurangan anggaran yang disebabkan berkurangnya berbagai subsidi dari pemerintah, memaksa mereka untuk ”berfikir keras” untuk menghimpun dana. Layaknya istilah pendidikan di masa lampau, pihak PTN ini juga mengajukan permintaan sumbangan pendidikan yang nyaris tidak ada bedanya dengan BP3. Kemudian ibarat ”peserta koor”, hampir semua PT itu semakin ”terlatih dan mandiri” mencari dana karena mereka memiliki kebebasan untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing. Akibatnya, mereka melakukan berbagai terobosan, antara lain, penerimaan mahasiswa baru dengan menggunakan ”jalur khusus”.

Karena jalur khusus ini, beberapa PT yang telah berubah menjadi BHMN semakin menjadi sorotan. Masyarakat mengkritik, perubahan status menjadi BHMN hanya memberatkan masyarakat dan meninggikan biaya pendidikan. Kampus dituding telah meninggalkan misi sosialnya dan berubah menjadi sebuah usaha komersial. Perguruan tinggi menjadi semakin rakus mencari uang dan pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab sebagaimana yang diamantkan pada Pasal 31 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan, seolah hanya slogan belaka...

Seperti dilansir oleh salah satu media nasional beberapa waktu yang lalu, untuk mengikuti jalur khusus Program Prestasi dan Minat Mandiri UI, sumbangan yang harus dikeluarkan untuk kuliah di Fakultas Hukum yang paling murah saja mencapai Rp 25 juta, masih ditambah Rp 7,5 juta per semester untuk SPP-nya, begitu juga dengan beberapa jurusan lain seperti Ilmu Komunikasi, dimana calon mahasiswa berusaha untuk merogoh kocek lebih dalam, hingga mencapai angka Rp 60 juta, belum lagi fakultas teknik dan kedokteran......tentu akan mencapai angka yang lebih fantastis! Nah ...bagi pihak PTN yang berstatus BHMN tentu saja hal ini menguntungkan dengan alasan bahwa untuk menciptakan pendidikan yang bermutu, perlu biaya besar dan mahal. Sebaliknya, bagi kalangan ekonomi lemah, hal ini merupakan awal malapetaka.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah istilah yang paling tepat ditujukan kepada para calon mahasiswa, karena PT BHMN semakin ”kebablasan”, buktinya rencana penerimaan mahasiswa baru di beberapa PT BHMN melalui jalur SNMPTN tahun 2008 ini semakin menurun. Seperti contoh IPB yang menyediakan hanya 20 persen dari total 2.270 kursi yang ada. Begitu juga UGM yang hanya akan menerima 5 % mahasiswa dari jalur SNM PTN dari total mahasiswa yang diterima UGM. Sementara ITB berencana untuk hanya menerima 1.080 mahasiswa dari total 2.615 mahasiswa yang akan diterima. Melihat semakin menurunnya kuota bagi penerimaan mahasiswa reguler oleh masing-masing PT BHMN tersebut, bagaimana nasib calon-calon mahasiswa yang kurang beruntung dari segi finansial? Apakah mereka harus terus memaksakan diri untuk ”menjual harga diri”? Karena memang sudah tidak ada lagi ”property” yang harus dijual? Bersiaplah untuk berkhayal dan bermimpi untuk melanjutkan pendidikan ke PT BHMN.

Mahalnya biaya pada dunia pendidikan, sesungguhnya memang bukanlah kesalahan pihak PT BHMN semata, karena apabila ditilik dari besaran anggaran yang diterima oleh pihak Universitas, hanya dapat menutupi rata-rata sekitar 30 % anggaran, yang antara lain diperuntukkan untuk anggaran rutin seperti pembayaran gaji dosen dan karyawan, serta anggaran pembangunan. Sehingga memaksa pihak kampus untuk mencari sumber dana ”lain”, seperti melaksanakan kerjasama di bidang penelitian dengan Institusi Pemerintah/dunia usaha, kontrak bagi hasil dan lain-lain, bahkan secara ekstrim memacu para dosen untuk ”nyambi di luar” yang pasti mengakibatkan terjadinya ”distorsi” proses pembelajaran.

Berkaitan dengan PT BHMN, mantan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas RI Satryo Soemantri Brodjonegoro pernah mengungkapkan bahwa di kalangan PT BHMN masih terdapat beberapa perbedaan pemahaman / salah tafsir mengenai BHMN, yang disebabkan antara lain :

a. Perubahan status menjadi BHMN masih rancu karena adanya benturan kepentingan sebagian personil perguruan tinggi.

b. Bahwa otonomi diberikan kepada perguruan tinggi negeri agar dapat berperan sebagai kekuatan moral, dan hal ini merupakan salah satu aspek penting dalam reformasi pendidikan tinggi yang saat ini sedang dijalankan. Namun pengertian “kekuatan moral” tersebut masih abstrak dan perlu penterjemahan dalam bentuk rambu/panduan pelaksanaan untuk tiap perguruan tinggi. Tanpa adanya kejelasan tersebut, dikhawatirkan terjadinya penterjemahan otonomi secara bebas oleh setiap pihak yang berkepentingan yang disesuaikan dengan kepentingan pribadi masing-masing. Otonomi fiskal mungkin diterjemahkan oleh para dosen sebagai kenaikan gaji, yang kemudian dapat berakibat kepada kenaikan SPP mahasiswa. Otonomi bagi mahasiswa mungkin diterjemahkan sebagai kebebasan mahasiswa untuk bertindak bebas termasuk misalnya menolak kenaikan SPP. Departemen Keuangan mungkin menterjemahkan otonomi sebagai lepasnya tanggung jawab untuk pendanaan perguruan tinggi yang dapat berakibat kepada hilangnya fungsi pemerintah untuk menyelamatkan tugas mulia yang harus diembannya.

Tidak adanya konsensus ataupun kesamaan persepsi mengenai otonomi tersebut akan menyebabkan terjadinya kondisi yang tidak menentu. Oleh karena itu saat ini dibutuhkan suatu pemahaman secara nasional yang utuh mengenai otonomi yang dapat menggalang peran seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), di mana setiap kelompok harus bersedia sedikit berkorban.

Sesungguhnya, dari berbagai polemik tentang PT BHMN, yang menjadi persoalan adalah pengertian nirlaba itu sendiri, karena menjadikan PT BHMN sebagai suatu lembaga "jasa" pendidikan yang tidak berorientasi keuntungan. Pada dasarnya BHMN adalah milik Pemerintah karena melakukan tugas yang diberikan oleh Pemerintah. Apabila BHMN tersebut kemudian juga melakukan kegiatan “swasta” di samping tugas utamanya yang dari Pemerintah, maka Pemerintah harus memastikan bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kegiatan “swasta” tersebut harus konsisten dan komplemen dengan misi utama perguruan tinggi dalam hal pendidikan dan penelitian. Ke dua, kegiatan “swasta” tersebut harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kegiatan yang didanai Pemerintah - artinya dana Pemerintah tidak digunakan untuk mensubsidi kegiatan “swasta”. Hal ini berarti bahwa kegiatan “swasta” tersebut harus sepenuhnya dibiayai oleh peserta/pelaku - termasuk di sini biaya untuk utilitas dan perawatan serta administrasi.

Menurut Dosen IPB Winarso Widodo, Dasar otonomi yang dikaitkan dengan kebebasan menghimpun dana ini, bila ditinjau dari substansi PP No 61/1999, masih patut dipertanyakan karena bagaimana cara menghimpun dana dari masyarakat dan konsumen PT, yaitu keluarga mahasiswa, tidak jelas tertulis. Bahkan, cara "memperoleh" mahasiswa baru pun tidak tertulis, kecuali Pasal 19 Ayat (2) tertulis, "Tata cara pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan Perguruan Tinggi dengan memperhatikan efisiensi, otonomi, dan akuntabilitas". Memang ada hak berotonomi finansial, tetapi untuk itu PT BHMN dituntut mengelola secara efisien dan dapat dipertanggungjawab.

Tuntutan yang lebih penting adalah akuntabilitas yang menghendaki transparansi, keterbukaan PT BHMN dalam mengelola keuangan, terutama pengelolaan dana yang dihimpun dari masyarakat. Ini menjadi penting karena sebenarnya semangat PT BHMN adalah bertumpu pada aspek akuntabilitas dan transparansi yang disemangati prinsip pengelolaan sumber daya yang berasas pengelolaan yang profesional. Ini merupakan tujuan keempat penyelenggaraan PT BHMN, yang tertulis pada PP No 61/1999 Pasal 3 huruf d, berbunyi, "mencapai keunggulan kompetitif melalui penerapan prinsip pengelolaan sumber daya sesuai dengan asas pengelolaan yang profesional". Pengelolaan finansial yang profesional tentunya harus berpegang pada asas akuntabilitas dan transparansi.

Dengan penggunaan jalur khusus pada penerimaan mahasiswa baru, dikhawatirkan pihak PT BHMN akan kehilangan ”hati nurani”, betapa tidak apabila terdapat sepuluh orang saja seorang calon mahasiswa yang bersedia memberikan ”sumbangan dana pendidikan” sebutlah mencapai angka Rp. 100 juta, maka pundi-pundi yang berhasil diterima oleh PT tersebut sudah mencapai angka Rp. 1 milyar, nah.. sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah pihak PT mampu mempertahankan idealismenya, dengan tetap konsisten mempertahankan hasil tes sang calon mahasiswa? Apabila konsistensi ini luntur, maka hal ini justru menjadi langkah awal bagi mundurnya dunia akademis kita.

Kekhawatiran terhadap jalur khusus ini juga diungkapkan oleh Suryadi dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), disebutkan bahwa hal ini justru akan menyedot peminat PTS ke PTN, pasalnya dengan biaya yang hampir sama dengan PTS maka calon mahasiswa pasti lebih memilih PTN favorit dibandingkan PTS. Bahkan berdasarkan pengamatannya telah ada indikasi penurunan minat calon mahasiswa untuk kuliah di PTS hingga 20 persen.

Menanggapi hal itu, pengamat pendidikan Darmaningtyas menegaskan, pemerintah harus segera mengambil langkah agar akses pendidikan bagi kalangan miskin tidak tertutup masuk PTN. Dia prihatin dengan langkah sejumlah PTN mengurangi jatah penerimaan mahasiswa lewat jalur reguler yang memungkinkan mahasiswa dari keluarga miskin bisa terjaring. Ia juga menegaskan bahwa Pemerintah memang berkewajiban membuat kebijakan yang memihak rakyat. Salah satunya adalah kebijakan kontrol terhadap biaya kuliah agar terjangkau semua lapisan anak bangsa. Jika tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, dan hal itu membuat diskriminasi terhadap kaum papa untuk memperoleh pendidikan tinggi.

Ternyata paradigma pendidikan yang murah, layak dan berkualitas untuk semua rakyat Indonesia sepertinya sudah tidak berlaku lagi. Kita hanya bisa berdoa agar PT BHMN yang ada tetap pada komitmennya, yaitu memberi pendidikan berkualitas yang terjangkau seluruh masyarakat. Semoga…

Tiada gading yang tak retak .......